Cerita Haji: Balada Paspor Indonesia…

“Assalaamu’alaikum.. Ini dengan Hasan dari Al-medina Travel. Kita punya sedikit masalah. Paspormu dan paspor istrimu gak bisa kebaca.”

Telepon dari Pak Hasan, pemilik biro travel tempat kami berangkat haji membuyarkan akhir minggu yang harusnya menyenangkan. Apalagi hari Selasa, orang tua saya dijadwalkan sampai di Sevilla dari Jakarta.

Hari itu, Sabtu, 5 September 2015. Sepuluh hari menjelang keberangkatan kami ke tanah suci.

“Kan saya sudah bilang, kalau kemungkinan seperti ini bakal terjadi,” jawab suami saya di telepon. “Terus apa yang bisa kita lakukan supaya semuanya beres?” lanjutnya lagi.

“Coba kamu hubungi Kedutaan Saudi Arabia (KSA) di Madrid, ini nomer teleponnya,” tutup Pak Hasan kemudian di akhir pembicaraan.

“Gimana, Bu?” suami saya lalu menanyakan pendapat saya.

“Gimana kalo kita juga coba hubungi teman di Stockholm, mungkin mereka bisa kasih solusi. Karena paspor kita kan buatan Stockholm,” jawab saya akhirnya.

Jadi lah Sabtu itu, ketentraman akhir pekan beberapa orang ikut terusik karena ulah kami. Sebenarnya cerita tentang paspor tak terbaca ini bukan hal aneh. Kami sudah mendengar sebelumnya kalau kawan kami di Swedia sempat tertahan visa haji-nya akibat paspor yang tak dikenali sistem.

Syukur alhamdulillah berkat kebaikan kawan kami di Stockholm, nomor petugas KBRI Stockhom yang berwenang berhasil kami dapatkan.

Tidak masalah!

Bapak KBRI Stockholm yang baik hati siap untuk mengkonfirmasi keabsahan paspor kami ke KSA di Madrid melalui telepon. Bahkan seandainya posisi kami masih di Swedia, pihak KBRI sendiri akan jemput bola ke KSA Stockholm. Sebagaimana yang mereka lakukan tahun kemarin, ketika salah satu kawan kami terganjal visa hajinya.

Sementara itu, kami juga mengontak pihak KBRI Madrid. Solusi yang ditawarkan sebenarnya sangat simpel, “Ganti aja paspornya, Pak. Lima belas menit langsung jadi.”

Ah, tapi kok rasanya ribet banget kalau harus ganti paspor… Apalagi posisi kami di Sevilla. Perjalanan ke Madrid akan memakan waktu dan tentu saja… biaya. Belum lagi visa Amiriki yang masih nempel di paspor suami sampai 3 tahun ke depan. Rasanya jadi nggak praktis kalo kemana-mana nanti harus bawa 2 paspor. Dan yang lebih kami khawatirkan lagi….

Bisa saja paspor buatan KBRI Madrid pun bernasib sama seperti paspor buatan KBRI Stockholm kan?

“Udah gini aja, kita masukin aplikasi paspor baru ke KBRI Madrid, tapi di-hold dulu. Begitu kita bilang OK, baru kita minta proses. Sementara itu KBRI Stockholm juga udah siap verifikasi. Jadi nanti hari Senin pagi-pagi banget aku telepon KSA Madrid untuk konfirmasi semuanya. Whatever the suggestion, we’ll be ready,” demikian akhirnya suami memutuskan.

Sabtu dan Minggu pun lalu terlewati, dengan perasaan yang sangat tidak menentu.

Senin, 7 September 2015 (H-8 menuju keberangkatan ke tanah suci).

“Aku udah telepon KSA Madrid,” kata suami saya dari telepon kantor, “Mereka bilang masalahnya bukan di Kedutaan Saudi tapi di travel agent. Verifikasi paspor sekarang sudah nggak di Kedutaan, tapi langsung oleh agen. Jadi pihak KBRI Stockholm juga nggak bisa berperan apa-apa. Dan orang KSA-nya bilang kalo mereka nggak merekomendasikan kita untuk ganti paspor.

“Aduh… terus gimana?” saya mulai cemas.

“Ya kita coba persuasi terus ke si agen. Suruh mereka terus nyoba… Dan kalo bisa masukin manual, ya manual,”

“Agen itu maksudnya Pak Hasan?” tanya saya.

“Bukan, jadi Pak Hasan ini menginduk ke agen besar. Dan posisi agen itu ada di Madrid. Yang bisa kita lakukan cuma nelepon, dan nunggu dari sana,” jelas suami.

Ya Allah! Lemes sekali saya dengernya… H-8! Apalagi berita keterlambatan visa haji jamaah Indonesia juga berseliweran di media-media elektronik. Semua karena pemerintah Saudi sekarang memberlakukan sistem E-Hajj untuk mengeluarkan visa haji. Seluruh verifikasi dilakukan secara komputer. Dan paspor Indonesia buatan KBRI Stockholm milik kami ini memang seumur-umur tidak pernah bisa terbaca oleh komputer. Kecuali….. komputer di Imigrasi Soekarno Hatta.

Liburan musim dingin tahun lalu bahkan kami menghabiskan 30 menit sendiri di counter imigrasi London. Berhubung kami sekeluarga 4 orang, dan semuanya berpaspor made in Stockholm, semua data pun akhirnya harus dimasukkan secara manual.

Sungguh, sama sekali tidak ada maksud apapun, tapi memang ini sudah jadi problem umum di beberapa KBRI di seluruh dunia. Entah kenapa, paspor buatan mesin di beberapa KBRI ini nggak pernah bisa di-scan.

“Minggu kemarin juga kita baru aja rapat di Madrid lho, Pak. KBRI se-Eropa kumpul, salah satu yang dibahas ya masalah paspor ini,” begitu informasi tambahan yang kami dapat dari Bapak KBRI Stockholm.

Puluhan telepon lalu kami layangkan ke travel agent di Madrid. Hari itu hari Senin, H-8, berakhir tanpa solusi.

Selasa, 8 September 2015 (H-7 menuju keberangkatan ke tanah suci).

Alhamdulillah, kedua orang tua saya tiba dengan selamat di Sevilla… Mereka sengaja tidak kami beritahu kondisi yang saat itu sedang kami hadapi. Takutnya sepanjang jalan dari Indonesia malah jadi kepikiran.

“Agennya udah bolak-balik ke Kedutaan. Paspor kita tetep nggak bisa dibaca,” demikian kabar terakhir dari suami saya.

Pertahanan saya pun lalu jebol! Jadi lah kami cerita masalah yang kami hadapi kepada orang tua. Tentang paspor yang tidak terbaca dan otomatis mengakibatkan tidak bisa keluarnya visa haji. Rasanya lega, orang tua pun ikhlas sudah datang jauh-jauh jika memang jalan kami tidak bisa berhaji tahun ini. Dan yang lebih penting, dengan bercerita, kami bisa memohon doa…. Karena bukankah doa orang tua, sejatinya, senjata dari seluruh kesulitan yang dihadapi anak-anaknya?

Sementara itu, pihak agen mengabarkan kalau besok adalah hari terakhir kepastian. Jika paspor kami masih juga tidak terbaca. Aplikasi visa haji tidak bisa dimasukkan.

Rabu, 9 September 2015 (H-6 menuju keberangkatan ke tanah suci).

Siap-siap, ini akan jadi cerita yang sangat panjang….

“Si travel agent-nya masih nyoba lagi, paling lambat jam 1 siang bakal ngabarin kita tentang paspor. Sementara sambil nunggu, aku mau coba kontak Ibu Duta Besar Madrid,” akhirrnya suami saya memutuskan menghubungi langsung Ibu Dubes, sebagai satu-satunya harapan terakhir kami.

Suami saya lalu menulis email tentang situasi yang kami hadapi. Tak disangka, Bu Dubes justru langsung menelepon dari Madrid! Beliau menjelaskan bahwa beliau pun akan berangkat haji, tapi tentu saja dengan jalur diplomatik. Beliau juga bercerita baru saja kembali dari KSA Madrid untuk mengurus salah satu staff lokal KBRI yang terganjal urusan visa karena tidak memiliki paspor diplomatik, jadi harus melalui jalur umum seperti kami… Ibu Dubes juga lalu menutup dengan informasi tambahan, yang kemudian membuat hati saya berkeping-keping…….

Bahwa sudah ada satu orang Indonesia yang berdomisili di Portugal yang akhirnya benar-benar batal berangkat haji karena urusan paspor.

Paspor si WNI ini tidak bisa terbaca oleh sistem, dan bahkan si agen meminta paspor yang sudah ada chip nya (seperti e-paspor)! Allahu Akbar, benar-benar tidak masuk akal! Bahkan di Indonesia saja baru segelintir kantor imigrasi yang bisa mengeluarkan paspor jenis tersebut.

“Siap dengan kemungkinan terburuk dan usaha terakhir kita ya?” tanya suami saya, “Kalau paspor masih nggak terbaca, hari ini juga langsung kita jalan ke Madrid. Kamu stand-by di depan laptop kalo sewaktu-waktu kita butuh beli tiket,” tambahnya lagi.

Ya Rabbi… Detik demi detik menunggu kepastian dari travel agent benar-benar terasa sangat panjang! Berbagai perasaan berkecamuk. Tapi yang jelas, kami sudah sepakat bahwa segala daya upaya sampai titik penghabisan terakhir akan kami lakoni. That way, kalau akhirnya kami nggak jadi berangkat, rasanya nggak nyesel, karena sudah berupaya semaksimal mungkin. Orang tua pun merestui. Mereka yang baru semalam tiba di Sevilla, langsung ditodong untuk jaga anak-anak di rumah.

“Travel agent-nya udah ngabarin. Mereka udah give up. Udah berkali-kali dicoba, baik manual maupun scan tetep gak jalan. Aku udah kabarin KBRI Madrid, kita ganti paspor. Kamu urus tiket ya… Aku ada rapat penting di kantor. Tolong cari kereta yang sekitar jam 3 sore,” begitu akhirnya suami mengabarkan dari kantor.

Langsung lah pontang-panting saya mencari tiket kereta api. Alhamdulillah, Sevilla-Madrid ada kereta cepat selama 2,5 jam padahal jaraknya hampir 600 km. Tapi tentu saja harganya melonjak gila-gila an kalau dibeli mepet begini. Bismillaah, waktu itu saya sama sekali nggak mikir masalah harga. Klak klik klak klik, beres! Jam 14.45 saya berangkat dari rumah untuk kereta api jam 15.35 dan kembali ke Sevilla jam 21.30.

Suami saya lalu bersiap di halte depan kantor, menunggu bus yang saya tumpangi lewat.

“Aku nggak bisa konsentrasi rapat,” kata suami saya begitu bertemu saya di dalam bus, “Bosku juga diem aja waktu liat aku diem-diem keluar, kayaknya udah pasrah,” timpalnya lagi. “Coba kamu liat ini,” dia lalu menunjukkan whatsapp dari staff KBRI. Masya Allah, foto halaman depan dari paspor baru kami! “Ternyata paspor kita sudah jadi dari tadi pagi, bahkan sebelum kita minta buat yang baru,” katanya. Alhamdulillaah…

Lalu bus kota pun melaju menuju stasiun… Jalan… jalan… sampai akhirnya tersendat. Macet! Sevilla jam 15.00 sore adalah waktu makan siang dan bubaran sekolah. Kendaraan bermotor tumplek di jalan raya. Meskipun ada jalur khusus bagi bus dan taksi, tapi tidak di semua ruas jalan.

Keringat dingin lalu bercucuran.. Saya mulai berdzikir.

Ya Allah, hanya ini kesempatan terakhir kami untuk mencoba dengan paspor baru…

Pesawat hanya tersisa di penerbangan malam, dan berangkat besok sudah terlambat karena semua paspor harus sudah terkumpul di KSA esok pagi. Artinya si agen harus bisa memasukkan data kami ke dalam sistem malam ini.

Bus lalu berjalan merayap, berkali-kali pula kami terhenti karena lampu merah… Waktu sudah menunjukkan pukul 15.15 sementara kereta kami pukul 15.35… Naik taksi? Tidak akan ada bedanya. Karena bus dan taksi memakai lajur yang sama.

Lalu tepat pukul 15.30, akhirnya bisa kami tiba di halte depan stasiun. Saya dan suami langsung melompat keluar.

“Jangan lari! Biar aku yang masuk duluan dan ngomong ke petugasnya!” teriak suami saya. Kami masih harus menempuh jarak 300 meter ke dalam stasiun, lalu melewati pemeriksaan x-ray (ya, stasiun di Spanyol memang menerapkan pemeriksaan x-ray bagi calon penumpang).

Suami saya lalu berlari meninggalkan saya. Tanpa sepengetahuannya, saya tahan perut hamil saya yang sudah membuncit dan ikut berlari secepat yang saya bisa.

Di depan jalur kereta, saya celingukan mencari suami. Ah itu dia! Terlihat dia sedang berdebat dengan petugas yang memaksanya untuk segera masuk ke peron tanpa saya.

“Aku di sini mas!” teriak saya.

“Madre mia! Ya Tuhan!” kata si petugas, “Ayo buruan kalian kejar keretanya!” tukasnya lagi.

Kami lalu berlari menuju pemeriksaan x-ray. Begitu melihat ransel saya keluar dari mesin x-ray, langsung saya tarik dengan sekuat tenaga.

“Brukkkk!” bekal makan kami yang saya simpan di dalam ransel pun jatuh berhamburan ke lantai. Sekotak nasi dan lauk pauknya! Saya lalu panik. Antara ingin langsung mengejar kereta atau membereskan sampah yang berserakan sebagai bentuk tanggung jawab.

“Lari! Lari! Tinggalkan saja!” begitu kata si petugas x-ray. Alhamdulillaah ya Allah!

Baru sedetik kaki kami menapak di dalam gerbong, kereta pun melaju. Seorang petugas tersenyum dan menanyakan gerbong kami. Ternyata gerbong kami masih jauh di paling ujung sana. Sambil tak henti mengucap syukur, kami lalu berjalan melewati gerbong demi gerbong.

Betapa terkejutnya kami ketika sampai di gerbong tujuan, ternyata saya memesan tiket kereta api kelas 1! Karena waktunya mepet, hanya itu kelas yang tersisa. Saya sama sekali tidak memperhatikan ketika sedang melakukan booking online. ‘Apapun tiket yang ada, kami harus berangkat,’ begitu pikir saya. Alhamdulillah, bekal makan yang tumpah pun terganti dengan snack dan minuman ringan yang kami dapat sebagai fasilitas. Ah, tapi dengan perasaan masih tak menentu… Kereta api kelas 1 pun terasa hambar.

Sesampainya di Madrid, kami langsung bergegas menuju KBRI. Paspor baru kami sudah siap, tinggal ditanda-tangan. Tak lama, Ibu Dubes turun menuju lobby tempat kami menunggu. Setelah mengobrol sebentar, Ibu Dubes lalu berujar kepada kami, “Yuk kita jalan sekarang.”

Lhooooo, kok dengan Ibu Dubes?! Ternyata… staff lokal yang diusahakan bisa berhaji itu akan memakai jalur umum melalui travel agent yang juga kami pakai! Jadi Ibu Dubes akan mendampingi ibu staff lokal tersebut, dan karena travelnya sama, maka otomatis kami pun akan ditemani oleh beliau. Ya Allah, sungguh kemudahan yang kami syukuri di tengah ketidakpastian yang sedang kami alami…

Lalu berangkat lah kami beserta rombongan Ibu Dubes ke kantor travel agent dengan berbekal paspor baru. Si pemiliknya menyambut kami. “Aku sudah coba selama 10 hari ini, paspor kalian tidak pernah bisa di-scan. Begitu juga dengan sistem manual, tetap aja nggak bisa,” dia menunjukkan paspor lama kami, buatan KBRI Stockholm, yang sudah berminggu-minggu ini berjauhan dengan pemiliknya.

“Nih, coba kalian lihat ya….,” digesekkannya paspor kami ke mesin scan. Lampu merah langsung menyala. Gagal!

Kami lalu menyerahkan paspor baru kami…  Paspor buatan KBRI Madrid. ‘Bismillaah,’ hati saya kebat-kebit tak karuan melihat detik demi detik paspor kami digesekkan. Mesin scan lalu berkedip-kedip. Lamaaaaa sekali… Seakan-akan berpikir….. Lalu seketika, alhamdulillaah! LAMPUNYA TERNYATA MENYALA HIJAU! Saya dan suami berpelukan menahan air mata…

“Alhamdulillah, no problem! You don’t have to worry now. Ini adalah kunci supaya semua data bisa masuk ke sistem. Kalau paspormu sudah terbaca, insya Allah aman,” kata si agen.

Maka malam itu, di dalam kereta kembali menuju Sevilla, tak henti-hentinya kami mengucap syukur… Sayang, ketika kami sudah bisa menikmati perjalana, kereta yang kami tumpangi bukan kelas 1 😀

Anak-anak? Alhamdulillah, meskipun baru semalam berjumpa dengan kakek-neneknya tapi sama sekali tidak ada masalah selama kami tinggal. Ini juga sekaligus menjadi pembuktian bagi kami yang akan meninggalkan mereka 22 hari hanya dengan kakek-neneknya. Sungguh kelegaan yang berlipat. Meskipun visa belum di tangan, tapi kami lega. Semua yang kami lakukan sudah maksimal dan yang tersisa tinggal lah berpasrah kepada-Nya.

Oya, tahu tidak, sebenarnya pintu kereta sudah harus ditutup sejak 3 menit sebelum kereta berjalan. Jadi secara logika, harusnya kami nggak bisa mengejar kereta ke Madrid karena baru tiba di halte stasiun pukul 15.30. Dan nyatanya, kami tetap bisa mengejar kereta padahal jadwal keberangkatan sama sekali tidak terlambat pukul 15.35. Betapa Allah Maha Besar!

Epilog

Rabu, 16 September 2015. Madrid Airport.

Setelah menempuh perjalanan sejak kemarin malam dari Sevilla, maka berkumpul lah kami di airport dengan jamaah-jamaah dari Spanyol yang akan berangkat haji dari Madrid. Semua berdiri di depan counter check-in pesawat Egypt Air. Satu per-satu, para jamaah ini lalu dipanggil untuk menerima paspor mereka yang sudah ditempeli visa haji dari KSA. Dengan sabar kami menunggu…. Sampai akhirnya semua orang sudah menerima paspornya.

“Ibrahim dan Riana,” panggil Pak Hasan, “Ini paspor kalian.”

Perlahan-lahan kami buka lembar demi lembar paspor kami… We are the last, but definitely not the least. Visa haji yang kami tunggu-tunggu itu pun sudah menempel di paspor baru kami! Paspor keluaran KBRI Madrid yang semuanya tidak lepas dari bantuan Ibu Dubes dan para staffnya yang luar biasa. Alhamdulillaah, Allahu Akbar!

Visa Haji

Visa Haji yang Ditunggu-tunggu…

Pada akhirnya saya tidak melihat ini sebagai ujian, tapi justru bantuan yang bertubi-tubi dari Allah.

Kereta yang seakan menunggu kami ke Madrid…

Ibu Dubes yang ikut mengantar ke travel agent…

Dan anak-anak yang membuktikan bahwa mereka siap ditinggal ketika orang tuanya berhaji.

Kami hanya harus membuktikan, sejauh apa tekad kami untuk berhaji. Dan Alhamdulillah, Allah memberikan kesempatan-Nya untuk itu.

Fa inna ma’a al ‘usri yusra. Inna ma’a al ‘usri yusra. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu, ada kemudahan. Dan sesungguhnya sesudah kesulitan itu, ada kemudahan 🙂

20 thoughts on “Cerita Haji: Balada Paspor Indonesia…

    • iya.. ini masalah umum banget di beberapa KBRI 😦 renew-nya di LN apa di Indonesia, mbak? kalo di Indonesia justru gak masalah. insya Allah.. entah kenapa mesin2 yang di KBRI ini yang rada-rada 😦

      Like

  1. Pingback: Diary Haji 2016 – Time Capsule

  2. Pingback: Cerita Haji: Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah-Muzdalifah – Part 1 | Keluarga Ibrahim

Leave a comment