Cerita Haji: No Matter How Far We Go, Our Parents are Always with Us…

Malam itu, mata saya rasanya sudah nggak bisa diajak kompromi. Sambil menunggu keberangkatan rombongan kami ke Madrid menuju tanah suci jam 2 pagi, akhirnya saya ketiduran di dalam masjid Al Hidayah di Sevilla. Suara koper yang digeret lalu membuat saya terbangun. Setelahnya, seorang ibu dengan jilbab dan gamis hitam terlihat berdiri di depan pintu. Tersenyum mengucap salam sambil membawa masuk kopernya.

Detik dan menit itu lah kali pertama pertemuan saya dengan teman yang akan tergabung dalam satu rombongan kami berhaji dari Sevilla.

Tak usah heran, memang begitu adanya. Jangankan manasik, sekedar kumpul pra keberangkatan aja nggak ada. Memang begini lazimnya berhaji dari Eropa atau negara minoritas muslim lainnya. Meskipun berangkat dari Sevilla, bukan berarti semua jamaah yang tergabung dalam satu rombongan semuanya berdomisil di Sevilla. Seringkali satu rombongan terdiri dari jamaah berbagai kota yang letaknya berjauhan satu sama lain.

Lalu siapa gerangan si Ibu itu? Ibu Aicha namanya. Rumahnya di Cordoba. Dia berhaji sendirian karena suaminya, yang mualaf Spanyol, sudah wafat 5 tahun yang lalu setelah sebelumnya juga sempat berhaji sendiri. Ibu Aicha sendiri asli Maroko, sebelum berganti warga negara menjadi Spanyol.

Tak disangka-sangka, ternyata kami ditempatkan dalam kamar yang sama sesampainya di Mekkah. Alhamdulillah rezeki! pikir saya. Karena sebagian besar jamaah kami yang berjumlah 40 orang ini mayoritas berasal dari Maroko dan tidak terlalu fasih berbahasa Spanyol. Mereka bisa berangkat dari Spanyol karena memiliki izin tinggal yang diperoleh dari kerabat dekat seperti anaknya, misalnya.

Arahan dan pengantar dari pembimbing pun akhirnya selalu disampaikan dalam bahasa Arab. Kemampuan berbahasa Arab saya yang cuma mentok di ana, antum, dan “ana uhibbuka fillah” (deuuuw ketahuan deh suka ngerayu suami, wkwkwk) akhirnya bergantung pada Ibu Aicha yang selalu membantu menejermahkan semuanya untuk saya 🙂

Saya dan Ibu Aicha

Saya dan Ibu Aicha

Maka jadilah, kami berempat di dalam kamar. Saya, ibu Aicha, ibu Thuriyya, dan ibu Zahrawi. Semua ibu ini umurnya jauh di atas saya. Ibu Thuriyya bahkan lebih tua dari ibu saya. Dari ke-tiga ibu ini, selain ibu Aicha hanya ibu Thuriyya yang bisa berkomunikasi dengan saya. Itu pun sambil patah-patah….sementara saya sendiri juga harus berakrobat karena sama-sama nggak bisa-nya berbahasa Spanyol hehe.

Kebersamaan kami sebenarnya bisa dibilang nggak terlalu sering juga. Paling hanya ketemu setelah Isya’, jelang makan malam atau tidur, atau ketika sarapan. Selebihnya disibukkan dengan kegiatan pilihan masing-masing.

Tapi di antara waktu yang sedikit ini lah, adaaaa saja perhatian mereka untuk saya…

Sekotak jus dari ibu Aicha yang tiba-tiba sudah ada di kolong tempat tidur…

Buah-buahan yang sudah dipotong-potong ibu Zahrawi untuk saya…

Cubitan sayang sebelum tidur dari ibu Aicha…

Segelas susu madu hangat yang dibuatkan ibu Thuriyya untuk saya ketika sedang terserang migrain…

Sampai pelukan dan ciuman dari ibu Aicha di sela-sela sedu sedan saya ketika wukuf di Padang Arafah… :’)

Semuanya membuat saya merasa selalu dalam kasih sayang dan perhatian orang tua meskipun sejatinya sedang jauh dari mereka. Ibu-ibu ini bahkan memanggil saya sebagai putrinya.

Bersama Ibu Thuriyya

Bersama Ibu Thuriyya

Kenapa mereka sedemikian sayangnya dengan saya?

Sungguh, selain memang saya sedang hamil, kayaknya saya bukan tipe yang sebegitunya love-able (hehe) 🙂 Apalagi interaksi kami juga sebenarnya sangat terbatas. Tapi satu yang saya yakini betul, dalam perjalanan hidup saya, sudah tidak aneh bagi saya untuk merasakan dahsyatnya doa orang tua.

Memiliki ayah dan ibu kandung yang tak pernah berhenti berdoa untuk kebahagiaan anaknya, ditambah sejak 10 tahun yang lalu dobel dengan doa dari ayah dan ibu mertua yang juga tak kalah luar biasanya. Maka dari itu, rasanya tidak heran kalau mustajabahnya doa mereka bisa saya rasakan sampai ke tanah suci. Merasakan perpanjangan kasih sayang mereka yang menembus jarak dan waktu…

Ah, ternyata memang sampai kapanpun dan berapapun usia, kita memang akan tetap menjadi seorang anak. Kalau Brad Meltzer bilang, “No matter how far we come, our parents are always in us,” saya lebih senang dengan versi, “No matter how far we go, our parents are always with us.” :).

Nah kan, siapa lagi yang kami repotkan untuk menjaga Raya dan Bita selama 21 hari berhaji kalau bukan kakek dan neneknya? :) Terima kasih Enin dan Engki... Terima kasih untuk doa yang tak pernah putus... Untuk kerepotan yang tak juga selesai...

*) Nah kan, siapa lagi yang kami repotkan untuk menjaga Raya dan Bita selama 21 hari berhaji kalau bukan kakek dan neneknya? 🙂

Terima kasih Enin dan Engki…

Terima kasih untuk doa yang tak pernah putus…

Untuk kerepotan yang tak juga selesai di hari tua…

11 thoughts on “Cerita Haji: No Matter How Far We Go, Our Parents are Always with Us…

  1. ko tiba tiba mau mewek yaaa ri :’)

    keinget kalo kebangun dini hari di rumah cimahi, pasti di musola rumah ada mamah lagi khusyuk solat malam dan berdoa. Langsung mikir begitu banyak kemudahan hidup yg didapat pasti salah satunya karena ini nih.. doa org tua yg ga pernah putus :’)

    menanti cerita haji episode yg laiiin 😀

    Like

  2. Pingback: Cerita Haji: Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah-Muzdalifah – Part 1 | Keluarga Ibrahim

Leave a comment