Seberkas Cahaya dari Andalusia

Image may contain: indoor

Dimuat di Majalah Auleea Edisi 21, Maret 2016

Setelah 5 tahun tinggal di belahan bumi utara Swedia, takdir membawa saya dan keluarga menapakkan kaki di selatan Eropa, di bumi Andalusia. Tentu saja, nama Andalusia sendiri bukan lah nama yang asing bagi saya. Sebagai muslim, hampir pasti kita sering mendengar nama ini disebut-sebut sebagai bagian dari era kejayaan Islam di masa lalu. Di ibukota Andalusia, Sevilla lah, kemudian kami tinggal sejak Oktober 2013.

Perasaan skeptis sempat menjalar di benak saya kala itu. Juga perasaan khawatir sebagai muslim, karena bagaimanapun, sejarah Islam di Andalusia hanyalah masa lalu. Kondisi saat ini tentu saja tak sama seperti apa yang ada dalam buku-buku sejarah. Sevilla dan seluruh daerah otonomi Andalusia kini hanya menyisakan sisa peradaban Islam yang dikagumi oleh jutaan wisatawan dari seluruh dunia.

Tapi rupanya, tak sekali pun perlakuan buruk mampir ke hadapan saya. Penduduk Spanyol sendiri pun mengakui bahwa masa lalu pengusiran Islam dari tanah Spanyol termasuk dalam sejarah mereka yang kelam. Pun, mentafakuri jejak demi jejak yang tersisa membuat perasaan gundah itu menghilang. Berganti dengan kehausan akan pelajaran dari masa lalu yang seakan tak pernah habis untuk digali.

Berfoto di depan Alhambra.jpg

Berfoto di depan Alhambra

Bagaikan oase di tengah gurun yang tandus, demikian mungkin mengibaratkan bagaimana rentangan tujuh abad peradaban Islam di bumi Andalusia jika seseorang ingin menggali dan mempelajarinya. Bening dan mengalir tiada henti. Rangkaian cerita demi cerita bersambung satu sama lain, memberikan corak yang sangat berwarna dalam bingkai sejarah peradaban umat manusia.

Siapa yang tak kenal Tariq bin Ziyad, keberaniannya menaklukkan benua biru dimulai dari ujung Eropa bernama Gibraltar pada abad ke-7. Melihat Jabal Tariq selalu membawa gelora tersendiri. Kekokohannya seakan menggambarkan kecintaan kepada Islam bagi siapa saja yang melihatnya.

_Sebagian sisi Jabal Tariq atau Rock of Gibraltar

Sebagian sisi Jabal Tariq atau Rock of Gibraltar

Cordoba adalah magma dari ilmu pengetahuan. Tak sulit rasanya untuk membayangkan betapa dahsyatnya umat manusia di masa lalu berkumpul di Mezquita de Cordoba (Mesjid Raya Cordoba) yang megah dan agung, yang kini telah berubah menjadi Katedral. Nun jauh berabad yang lalu, pemuda-pemuda Andalusia gagah, tampan dan sholeh duduk berjajar dengan tekun, belajar di selasar masjid yang luas yang tidak heran melahirkan orang-orang gemilang yang tidak lekang oleh sejarah.

Cordoba yang di masa jayanya di abad ke-9 adalah kota terbesar di Eropa. Mesjidnya yang megah adalah juga pusat pendidikan, hukum, dan filsafat. Melahirkan para ilmuwan dan pemikir cerdas mulai dari Al Jayyani yang ahli matematika, Al Zahrawi yang seorang dokter bedah, dan tentu saja yang semua orang tahu, sang filsafat Ibnu Rushdi yang lebih dikenal di dunia barat dengan nama Averroes.

Sementara Sevilla adalah gambaran hidup dan mati. Benteng kota yang sebagian masih tersisa sampai sekarang menyisakan cerita heroik akan kejatuhannya yang membutuhkan waktu hingga 10 tahun. Dengan embargo perdagangan dan pengepungan yang kemudian melemahkan di tahun ke-8 sampai akhirnya benar-benar tunduk dan tumpas.

Lalu Granada, adalah titik penghabisan. Titik jatuhnya Islam di abad ke-15 untuk kemudian tidak berbekas sama sekali dalam keping-keping sejarah di Eropa. Meninggalkan kemegahan Alhambra yang di tiap sudutnya tak luput dari filosofi penghambaan terhadap Allah. Bahkan sekedar berjalan di seputaran Severo de Ochoa saja akan membangkitkan kerinduan dan kesyahduan. Bahwa di tanah itu, yang sekarang sudah dialihfungsikan sebagai taman dan pedestrian, bersemayam makam para wali dan pengikutnya.

Saya masih ingat ketika pertama kali menginjakkan kaki di Sevilla, berbagai perasaan seakan berkecamuk dalam hati. Ini kah Sevilla yang dulu melengkapi sejarah gemilangnya Islam di Eropa? Pada masa kekhalifahan Al-Muwahhid, Sevilla merupakan ibukota dari Andalusia. Saat itu Sevilla merupakan pusat dari pengetahuan Islam di bidang seni dan budaya. Ornamen khas Islam dan penggunaan desain geometris dikembangkan dalam masa kekhalifahan ini. Desain yang kemudian ditiru dalam pembangunan istana Alcazar yang walaupun diinisiasi oleh kekhalifahan muslim, tapi pembangunannya dilanjutkan oleh Raja Katolik saat itu.

Selain Alcazar, peninggalan Islam terbesar di Sevilla hanya menyisakan Giralda Tower. Menara ini pada mulanya merupakan menara adzan di mana muadzin harus naik kuda ke puncaknya untuk bisa mengumandangkan panggilan sholat. Giralda Tower juga sudah berubah fungsi menjadi lonceng gereja yang menempel di gereja terbesar ke tiga di dunia. Di area yang dulunya pernah menjadi Masjid Raya, sebelum terkubur gempa dan masa lalu.

IMG_7805

Giralda Tower, menara adzan yang kini berubah menjadi menara lonceng.

Dan Itulah bolak balik sejarah, sampai akhirnya kami bertemu dengan komunitas muslim asli Spanyol di sini. Ya, komunitas pribumi yang langka untuk ditemukan di tanah Eropa, karena pada umumnya masjid selalu didominasi oleh kaum pendatang dari timur tengah atau negara mayoritas muslim lainnya.

Kekontrasan sejarah masa lalu dan realita masa kini itu lambat laun berubah menjadi cahaya, yang meskipun masih seberkas, tapi mulai terlihat terang. Pandangan kami berubah seketika setelah lebih dalam mengenal masjid di sini, melihat ragam aktifitasnya dan berkenalan dengan orang-orangnya. Ini lah Sevilla, yang rasanya menjadi salah satu bukti betapa Islam berkembang kembali di tanah Eropa dengan sangat dahsyat.

Bisa jadi muslim di Paris, Roma dan kota-kota di Inggris memiliki jumlah muslim yang jauh lebih banyak. Namun intensitas aktifitas keagamaan umat Islam yang diinisiasi oleh masyarakat asli Andalusia ini bisa dikatakan salah satu yang terdepan dengan banyaknya orang-orang asli Spanyol berada paling depan dalam geliat Islam di sini. Dari mereka juga lah, saya banyak belajar dan memahami tentang sejarah yang tertinggal di bumi Andalusia.

Kebanyakan dari mereka adalah generasi kedua Muslim di Spanyol namun dengan totalitas aqidah yang menurut saya luar biasa. Orang-orang yang mencintai dzikir, orang-orang yang mencintai sholawat, yang barangkali bahkan lebih dari rata-rata muslim di Indonesia. Sebagian dari mereka adalah para penghafal quran, sebagian di antaranya membaktikan dirinya untuk umat dengan menjadi pengurus masjid. Dan sungguh pun kebanyakan dari mereka baru mengenal Islam, tapi ketaatan mereka sangat menggetarkan.

Para penduduk Spanyol muslim ini menempuh ke-Islam-an melalui jalur tasawuf yang dimulai dari generasi orang tua mereka di era 1980-an. Berbeda dengan kondisi umat Islam di belahan Eropa lain yang cenderung rentan dengan pergesekan, mereka mampu mengakar dengan masyarakat setempat tanpa harus menggadaikan keimanan yang mereka miliki. Beberapa acara hari besar yang diselenggarakan di Masjid bahkan terbuka untuk umum. Menghapus kesan eksklusifitas yang selama ini sering menempel pada umat Islam di luar negeri.

Mungkin ini lah syafaat yang sejatinya terus mengalir di bumi Andalusia. Seorang penyair pernah berkata bahwa berabad yang lalu di tanah ini tak ada satu jengkalpun yang di atasnya tidak dialiri darah para syuhada. Karena itu lah, tanah ini dan orang-orang yang mendiaminya senantiasa dibarokahi oleh pengorbanan-pengorbanan itu. Meskipun untuk mencapai kejayaannya kembali terasa masih jauh, tapi jalan ke sana rasanya mulai terlihat.

Melihat Masjid Raya Granada saat ini yang berdiri tegak menghadap ke Istana Alhambra, sesungguhnya adalah pengingat diri untuk selalu bercermin. Dalam sejarah manapun, tidak ada ceritanya Islam dan umat Muslim berjaya tanpa keseimbangan yang kuat antara dunia dan akhirat. Kegemilangan dunia dan penghambaan diri kepada Allah adalah dua hal yang saling terkait. Sesuatu yang akhirnya luput dan merenggut kejayaan Islam dari Eropa 7 abad yang lalu.

Pengalaman ini pun semakin membuncahkan rindu kami kepada orang tua di Indonesia. Membawa ingatan melayang pada nasehat mereka, “Sungguh, di manapun kamu berada, itu adalah bumi Allah!” Nasehat yang terdengar sangat sederhana, yang belakangan bisa kami resapi maknanya dalam ketakjuban kami terhadap Andalusia dan orang-orang alim yang kami temui berdiam di sana.

*Naskah asli sebelum di-edit oleh Redaksi.

10 thoughts on “Seberkas Cahaya dari Andalusia

  1. Keren! Saya baru belajar tentang Islam belum lama ini. Saya sangat terpukau dengan keindahan Islam, terutama keindahan Islam masa lampau, tentang sejarahnya, masa kejayaannya, dan keharmonisan Islam di negara asing di masa kini. Islam sangat indah, sungguh. Dan tulisan mba juga sangat mencerminkan keramahan Islam di manapun umat Islam berada. Saya percaya, setiap jengkal di Bumi ini ialah Bumi Allah. Dan dimanapun Islam berada, maka di situ pula ada kedamaian.
    Semoga mba bahagia selalu 🙂

    Like

  2. Assalamualikum.
    Saya rencana ke andalusia dan mmg temanya napak tilas kejayaan islam, tp msh bingung nyusun itinerary nya dan dr kota mana hrs dimulai +apa saja yg wajib didatangi + brp hari yg diperlukan utk bisa mendatanginya semua. Bisa kasih masukan? Terima kasih

    Like

Leave a comment