Cerita Haji: Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah-Muzdalifah – Part 3 (Selesai)

Panas matahari terasa memanggang kulit. Haji di tahun-tahun belakangan ini memang jatuh di puncak musim panas.

Selepas dzuhur, akhirnya kami baru berangkat ke Jamarat. Tenda kami cukup jauh dari sana karena terletak hampir di paling belakang. Dalam perjalanan, kami harus melewati tenda-tenda jamaah Indonesia yang terletak lebih dekat dengan jalan masuk menuju Jamarat.

Suasana di perjalanan masih ramai meski tidak sampai padat. Tapi karena berangkat sudah sangat siang, bahaya dehidrasi pun mengancam.

Beberapa petugas haji berdiri di tepi jalan sambil menyemprotkan air dingin ke arah jamaah. Kalau sudah begitu, biasanya para jamaah akan berlomba mengejar cipratan air.

Jalan yang saat itu sedang kami lalui ini membawa kami memasuki Jamarat melalui lantai ketiganya. Melintasi beberapa jembatan, jalan ini beberapa kali berjeda lorong panjang selayaknya gua yang sangat besar. Inilah the iconic terowongan Mina. Masya Allah, tak terbayangkan rasanya saya bisa sampai ke tahap ini. Debar-debar bahagia karena hampir merampungkan seluruh rangkaian haji terasa bermekaran dalam dada.

Hanya saja, ada yang aneh saat itu. Raungan beberapa helikopter terdengar berada di atas kami. Mobil ambulan juga terlihat berbaris berderet-deret. Meski sedikit rasa heran terbetik, tapi fokus saya hanya satu, saya ingin segera menuntaskan jumrah dan menyelesaikan masa ihram.


Cerita sebelumnya:

Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah – Muzdalifah – Part 1

Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah – Muzdalifah – Part 2


Tiang penanda melempar jumrah ada di hadapan saya. Saya pungut kerikil terakhir dalam kantong. Bismillaah, semoga dengan semua yang telah terjadi Allah masih meridhoi kami… Lemparan terakhir akhirnya menandakan jumrah saya di hari pertama sudah selesai. Maka dengan itu, masa berihram saya pun selesai . Saya memang tidak bisa menemani suami saya, tapi dia berada di sisi saya saat-saat terakhir saya menyelesaikan masa ihram. Alhamdulillaah…

Kami beranjak pulang melewati jalan yang sama. Beberapa jamaah terlihat kepayahan dan berjalan tertatih-tatih dengan dipapah. Tak sedikit dari mereka yang memilih untuk duduk di tepi jalan meski matahari terasa menyengat.

Maka ketika kami memasuki terowongan Mina, beberapa di antara jamaah banyak yang sudah collapse. Tergeletak sambil ditunggui jamaah-jamaah lain, barangkali keluarga atau kerabatnya, yang masih kuat.

Lalu tiba-tiba saja pandangan saya terpaku pada suatu sudut. Di sana, terlihat sesosok yang saya kenal, tersungkur dan tampak tidak sadar. Ya Allah, itu Ibu Zahrawi, teman sekamar saya selama di Aziziyah! Ibu Zahrawi tidak terlalu bisa bicara bahasa Spanyol, apalagi Inggris. Tiap kali saya mengajaknya bicara dengan bahasa Spanyol, ia pasti akan menjawab dengan bahasa Arab.

“Ya Allah Mas, itu ibu Zahrawi! Suaminya kan sekamar juga sama Mas!” saya menggamit lengan suami saya menuju Ibu Zahrawi.

“Astaghfirullah!” suami saya pun ikut bergegas.

Pelan-pelan, terlihat matanya terbuka. Alhamdulillah, beliau masih sadar rupanya!

“Agua.. agua…,” rintihnya.

Saya bergegas mengambil botol minum. Ia lalu menunjukkan gestur pertanda meminta saya menyiramkan air ke wajahnya. Saya siram pelan-pelan ke wajahnya, ia lalu meneguk sisanya.

“Gimana ini Mas, apa yang harus kita lakukan?”

Tak ada satu pun petugas yang terlihat di sekitar kami. Handphone? Tentu saja dua-duanya sedang di-charge setelah kejadian tadi malam!

Sejurus kemudian, datanglah suami Ibu Zahrawi, bukan main leganya perasaan kami saat itu. Ia datang membawa kursi roda sewaan, ya, sewaan yang bahkan antara ia dan pemiliknya belum bertemu kesepakatan harga. Begitulah, di manapun ada saja orang-orang yang mengambil kesempatan di tengah situasi yang kurang baik. Suami Ibu Zahrawi berkali-kali mengucapkan terima kasih pada kami.


Sekembalinya di Mina, situasi di tenda kami biasa-biasa saja. Tapi rupanya keadaan berbeda kami dapati nun jauh di seberang sana.

Innalillaahi, rupanya pagi tadi telah terjadi musibah yang mengakibatkan ratusan jamaah luka-luka bahkan hingga meninggal dunia… Lebih dahsyat dibanding kepiluan yang kami saksikan tadi melalui Ibu Zahrawi dan jamaah-jamaah yang kepayahan di sepanjang jalur Jamarat ke Mina. Berita-berita dari lokasi kejadian yang begitu dekat dengan kami, tapi justru kami ketahui kabarnya dari keluarga dan kerabat di tanah air.

Ya Allah, bagaimana dengan kakek-neneknya anak-anak di Spanyol? Tak terbayangkan betapa cemasnya mereka. Terlebih, saya baru tahu kalau peristiwa hilangnya saya tadi malam juga dikabarkan oleh suami saya ke sana. Dan belum diklarifikasi!

Benar saja, betapa leganya orang tua kami setelah mendengar kabar kami di sini. Ayah saya yang menerima kabar hilang di grup whatsapp rupanya diam-diam menghapus pesan itu dari handphone ibu saya. Kemudian memutuskan mengaji karena tak lagi bisa tidur setelah mendengar berita itu. Lalu masih dihantam pula dengan berita musibah terowongan Mina!

Begitu dahsyatnya musibah yang terjadi, bahkan kami pun sampai tak kuasa mendengarnya. Pagi itu, dalam perjalanan menuju Mina, sekelompok jamaah di depan tiba-tiba mengubah rute dan berbalik arah. Sementara dari belakang, dari arah yang berlawanan, ratusan ribu jamaah terus berjalan mendesak. Maka benturan antara kedua kelompok yang berbeda arah itu pun tak bisa dihindarkan lagi… Ditambah dengan panas terik yang menyengat, yang bahkan tadi dalam kondisi tidak ramai pun mengakibatkan beberapa jamaah rubuh. Innalillaahi…, sungguh saya tak kuasa membayangkan…


Jumrah kami masih tersisa setidaknya 2 hari lagi. Tapi mendengar berita musibah kemarin, membuat hari berikutnya terasa menegangkan bagi saya.

Selepas waktu ashar keesokan harinya, kami berangkat kembali ke Jamarat. Kondisi perjalanan yang jauh lebih padat dari yang saya alami kemarin tak urung membuat hati saya ketar-ketir. Dalam keramaian itu, terasa tangan suami saya hangat menggenggam.

Ketika akhirnya kami melintasi komplek tenda-tenda jamaah haji Indonesia, himbauan dari pengeras suara berulang-ulang kali terdengar,

“Bagi jamaah dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dilarang untuk berangkat jumrah saat ini. Sekali lagi, jamaah dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, dilarang untuk berangkat jumrah saat ini!”

Saya memandang berkeliling, jamaah Indonesia yang biasanya dengan mudah kami temukan ternyata memang tak terlihat saat itu.

Tapi kami juga tidak mungkin berjalan memutar dan melawan arus! Bukankah itu yang terjadi kemarin dan menyebabkan musibah?

Kami, yang berangkat dari maktab Eropa sudah terlanjur berada dalam barisan jamaah-jamaah lain yang berangkat dari pintu sebelum jamaah Indonesia. Dengan pagar yang mengelilingi kami di jalur menuju Jamarat, tak ada yang bisa kami lakukan selain meneruskan perjalanan.

“Mas…,” saya mulai tidak yakin. Tentu saja perut yang berisikan janin kecil ini yang membuat saya khawatir…

“Kamu tenang aja,” makin erat tangannya menggenggam saya.

Saya menoleh ke belakang, barisan manusia tampak menyemut tanpa terlihat batasnya. Sementara di depan sana, lautan manusia pun tampak tak berujung.

“Kalau ada kejadian kayak kemarin lagi, na’udzubillah, gimana?” hati saya masih berselimut cemas.

Saat itu, kami sudah berada dalam terowongan yang panjang. Tak tahu di mana kepala, mana pula ekornya. Kami hanya terus bergerak mengikuti arus. Tak boleh berhenti! Karena kalau kami berhenti justru mencelakakan barisan yang terus melaju dari belakang.

“Nggak boleh ngomong gitu,” suami saya menenangkan.

“Ya tapi kita kan harus memikirkan segala kemungkinan,” kata saya.

Suami saya menghela nafas, “Kalau ada apa-apa, KALAU, sekali lagi KALAU. Kita segera lari ke pinggir terowongan. Kamu senderan di tembok terowongan, lindungi perut kamu semampu yang kamu bisa. Aku bakal berdiri menghadap kamu sambil kedua tanganku bertumpu di dinding, membentengi kamu.”

Ya Allah, gerimis hati saya saat itu mendengarnya. Mendengar kesungguhan darinya, juga membayangkan kalau sampai itu benar-benar terjadi. Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah…


Empat tahun berlalu…

Hari ini, saya menulis rangkaian cerita ini kembali dengan hati yang gerimis. Mengenang lembaran demi lembaran perjalanan kami di tanah suci yang penuh kekurangan di sana-sini.

Tapi bukankah segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya? Dan kehendak-Nya terjadi tidak pernah tanpa alasan.

Kalau saya berpikir ke belakang sambil mengeja hikmah demi hikmah yang terjadi atas pengalaman kami, masya Allah betapa banyaknya!

Tragedi Mina terjadi tepat di antara waktu saya dan suami berangkat jumrah. Peristiwa itu terjadi di belakang suami saya, dan jauh di depan saya. Bayangkan seandainya mabit di Muzdalifah kami lalui bersama, bukan tidak mungkin suami saya akan menyesuaikan diri dengan pola saya yang lambat karena sedang hamil. Dan bukan tidak mungkin pula karenanya, musibah itu bisa terjadi tepat di depan mata kami….

Itu baru satu, dari sekian hikmah yang bisa saya petik.

Memang ada momen yang hilang, tapi jauh lebih banyak momen berharga yang bisa kami dekap. Saya pun pada akhirnya merasakan, bahwa berhaji adalah ibadah yang paling romantis yang bisa dilakukan dari sepasang suami istri. Bukan hanya sekedar romantisme jumrah, tapi seluruh rangkaian dari ibadah haji ternyata membawa romansa.

Ketika pasangan yang sehari-harinya berkutat dengan urusan rumah tangga dan tetek bengek urusan anak, kini menghabiskan hari-hari hanya berdua saja. Bersama menyempurnakan rukun Islam dengan seseorang yang telah menyempurnakan separuh agamanya!

Masya Allah… apa yang bisa lebih indah lagi dari itu?

Ketika tangan (yang mungkin pernah hilang tak berpaut) erat menggenggam dalam bingkai cinta, bergandeng bersama mencari cinta-Nya..

Setiap orang memang memiliki kisahnya yang berbeda. Kisah yang tersisa dari tanah haram, yang saya yakin selalu menguatkan.

Maka dalam putaran terakhir kami di thawaf wada’, saya pun luruh bersimpuh di depan multazam. Mencoba membuang segala ego dan prasangka, sambil berharap hanya syukur yang tersisa. Pada hari itu… hingga hari ini… dan nanti.

Sembari melangitkan doa, semoga Allah kelak membawa saya, kami, kita semua datang ke rumah-Nya.. kembali ke rumah-Nya…

5 thoughts on “Cerita Haji: Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah-Muzdalifah – Part 3 (Selesai)

  1. Pingback: Cerita Haji: Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah-Muzdalifah – Part 2 | Keluarga Ibrahim

Leave a comment