Suatu ketika di tahun 2013, saat kami baru saja Menjejak Andalusia beberapa hari…
Saya menemukan iklan tentang pameran yang diadakan atas kerja sama suatu museum di Amerika.
Apa yang menarik dari iklan tersebut?
Bahwa pameran yang sedang berlangsung di Sevilla, Spanyol itu berjudul:
“Nur: Light from the Islamic World”
Saat itu, saya masih mereka-reka akan sejarah peradaban Islam di masa lalu. Maka yang ada dalam bayangan saya adalah, pameran itu mempertunjukkan kesenian lampu dalam budaya Islam. Pemikiran yang sungguh sempit, memang.
Dan berangkatlah kami mengunjungi pameran itu.
Betapa terkejutnya kami ketika mendapati bahwa yang dimaksud dengan “Nur” ternyata lebih dari itu. Nur, la luz, the light, adalah jejak peninggalan Islam yang mengubah peradaban manusia!
Ada kitab kedokteran yang ditulis oleh Al-Zahrawi (lahir di Medina Azahara, Al Andalus-Spanyol), yang kemudian menjadi textbook standar para dokter di Eropa selama 500 tahun lamanya.
Ada pula manuskrip astronomi peninggalan Nasireddin Tusi.
Karya-karya luar biasa, yang membawa peradaban Eropa saat itu dari gelap menjadi terang.
Seketika dada saya terasa didobrak-dobrak. Bahkan dunia modern saat ini pun mengakui bahwa Islam, telah membawa nur. Cahaya bagi umat manusia.
Lalu terjadilah peristiwa pilu penembakan massal di 2 Masjid di Christchurch, New Zealand (15/03/19).
Melalui berita saya melihat bahwa senapan yang dipakai dalam tragedi berdarah itu ditulisi dengan berbagai nama/peristiwa.
Ternyata selain bertuliskan nama perang di masa Ottoman, nama Raja-raja yang mengalahkan kaum muslim, dan nama pelaku rasialis dan islamophobia di Kanada, Swedia, dan Italia, ada 2 nama lain yang membacanya membuat saya berjengit.
The Battle of Tours (732 M) dan The Battle of Clavijo (844 M) adalah 2 nama perang yang juga tertulis di sana. Dan keduanya adalah nama peperangan di mana kaum muslim Al Andalus kalah!
Maka ingatan tentang kunjungan kala itu pun kembali membayang dan membuat saya berpikir..
Brenton Tarrant… Kau salah.
Kalau dengan aksi kejimu kau merasa berhasil memadamkan sinar-Nya, kau justru kembali menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah cahaya yang memancar.
Siang itu, di Christchurch Selandia Baru, sesaat sebelum sholat jumat. Seseorang berdiri di pintu masjid. Membukakan pintu untukmu yang membidik dengan senjata.
Apa yang dia ucap kepadamu?
“HELLO BROTHER.”
Sapaan yang kau balas dengan rentetan peluru sebanyak 3 kali.
Kau tahu Brenton?
Dalam Islam, kami disunnahkan untuk mengucap salam. Sementara yang mendengarnya wajib membalasnya dengan salam pula.
Dan balasan darimu Brenton, meski bukan berupa doa, justru adalah balasan yang Insya Allah akan mengantarnya ke surga.
Rasanya bukan kebetulan kalau masjid, rumah suci yang kau bombardir dengan peluru itu, bernama Al Noor (An Nur).
Maka kali ini, cahaya Islam tidak memancar dari peninggalan-peninggalan luar biasa. Melainkan dari tindakan mulia seorang muslim yang dengan ketulusan hati dan jiwanya menyapamu, yang sedang mengokang senjata kehadapannya.
Detik itu juga Brenton, kau sudah salah dan kalah.
Tak ada yang sia-sia karena mereka-mereka yang kau terjang justru berpulang di sebaik-baik hari dan sebaik-baik tempat.
Nur, the light, is shining once again.
Maka mari kita berusaha menjadi umat-Nya yang bisa, setidaknya, sedikit saja memberi selarik cahaya. Karena sungguh kebencian tak akan membawa kemana-mana. Melainkan perilaku mulia lah yang akan selalu membawa terang, bahkan di tempat yang sedang dilanda kegelapan sekalipun.
Dari pria muslim pembuka pintu itu, saya kembali belajar.
“…Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS. An Nur [24]: 35)