Mutiara dari Afrika

Januari 2010…

”Mas ridho, kalau aku tinggal dua bulan?” kutatap mata suamiku lekat-lekat. Sebenarnya aku pun ragu untuk meninggalkannya selama itu. Hanya saja, kesempatan yang ada di depan mata ini benar-benar sayang untuk dilepas begitu saja.

”Nggak apa-apa, aku ikhlas. Pergi lah. Belum tentu ada kesempatan seperti ini datang lagi,” jawabnya sungguh-sungguh.

Kupeluk suamiku erat. Lega rasanya, izin yang paling penting itu pun keluar sudah. Itu artinya, ’Africa, here I’ll come!

Langkah Kaki di Afrika

Saat itu kuliah S2-ku di Swedia menginjak semester dua, sementara suamiku mengambil S3 di tahun kedua. Fakultas Arsitektur dan Desain tempatku berkuliah kembali mengadakan Reality Studio, sejenis kuliah langsung melihat realita permasalahan dunia. Tak tanggung-tanggung, pilihannya adalah Kota Kisumu di Negara Kenya!

Tidak semua mahasiswa bisa mengikuti kuliah ini. Kami diharuskan membuat esai sebagai seleksi. Dari sekitar 80 orang, hanya 15 yang terpilih, termasuk aku. Wajar saja bukan, kalau aku tidak rela melepas peluang itu. Kubaca kembali nama-nama mahasiswa pilihan itu. Sebagian besar dari yang berhasil lolos adalah orang Swedia. Sisanya berasal dari Iran, Spanyol, Meksiko, Taiwan, dan tentu saja satu dari Indonesia.

Bepergian ke Kenya dari Swedia, harus diikuti dengan prosedur ala negara utara ini. Meski repot, serangkaian imunisasi harus kupenuhi dulu. Diantaranya Yellow Fever, Malaria, Meningitis, dan Typhoid. Perlengkapan lain seperti kelambu, krim anti nyamuk, dan krim penangkal cahaya matahari juga turut dimasukkan ke dalam daftar barang bawaan. Segala cara yang mungkin dilakukan supaya kami tak jatuh sakit di sana.

Tiba di Kenya, kami tak langsung ke Kisumu. Selama tiga hari, kami mampir dulu di ibukota Nairobi. Pemeriksaan imigrasi kami lalui tanpa menemui kendala. Sebenarnya, pemegang paspor Indonesia hanya dijatah 30 hari untuk visa on arrival. Tapi karena izin tinggal Swedia yang kumiliki, derajat pasporku pun naik tingkatnya. Aku mendapatkan jatah tinggal yang sama dengan teman-temanku selama 90 hari.

Kulangkahkan kakiku keluar bandara bersama teman-teman. Aku tak tahu apa yang ada di benak mereka masing-masing, tapi yang jelas, aku takjub. Sejauh mata memandang, hanya The Africans yang aku lihat. Pemandangan yang sangat kontras dengan kami, yang didominasi oleh para Kaukasian dan beberapa warga Asia. Sungguh, aku makin merasa kerdil di mata-Nya. Betapa Allah Maha Kuasa menciptakan manusia berbeda-beda.

No automatic alt text available.

No automatic alt text available.

Hari sudah larut malam ketika kami tiba di penginapan. Mobil yang menjemput kami lalu membelok ke sebuah wisma. Hanya satpam yang membukakan gerbang dan menyerahkan kunci kamar pada kami.

Wisma itu terlihat biasa-biasa saja. Aku dan empat orang temanku mendapatkan kamar di gedung utama, sementara sisanya yang lain mendapat kamar di guesthouse yang terpisah. Rupanya gedung utama ini berupa asrama. Kamarku persis berada di seberang kamar mandi dan toilet umum.

Kubuka pintu kamar dengan kunci yang kudapatkan. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur dan meja belajar lengkap dengan kursinya. Semua tampak biasa saja…, kecuali satu hal. Sebuah salib yang berukuran sangat besar tergantung di dindingnya!

Di atas meja belajar terdapat selembar kertas. Membaca isinya, keterjutanku pun bertambah. Bukan sembarang asrama yang kutempati ini, melainkan tempat menginap para biarawati. Kertas yang aku baca adalah kertas peraturan dan jadwal kegiatan di asrama tersebut. Pernahkah kau sholat menghadap salib besar? 🙂 Seperti itu lah yang harus kualami selama tiga hari di Nairobi.

Berbagi Kamar, Berbagi Cerita

Setelah urusan di Nairobi selesai, kami pun melanjutkan perjalanan menuju tujuan yang sesungguhnya. Waktu tempuh dari Nairobi ke Kisumu memakan waktu lima jam.

Tubuh penatku belum sampai lima menit merasakan kasur ketika Zee, salah satu temanku yang berasal dari Iran menyusulku ke kamar. Aku berencana menempati kamar itu bersama dua kawanku yang berasal dari Swedia.

”Riana, kamu mau sharing kamar denganku nggak?” tanyanya penuh harap.

”Duh, kamu nggak lihat aku sudah beres-beres disini? Lagi pula, aku sudah janji sharing dengan Catherine dan Annika,” jawabku.

Raut mukanya lalu terlihat sendu, ”Ya sudah kalau begitu… Cuma kamar dobel yang tersisa, dan aku harus bayar penuh. Kalau kamu mau berbagi denganku, itu artinya kita bisa share,” jelasnya mengiba.

Sebenarnya sih, sama saja bagiku jika memilih tinggal di kamar ini atau berbagi dengan Zee. Total biaya yang aku keluarkan tak ada bedanya. Hanya saja, aku sudah merasa nyaman di kamarku. Lagipula, ada perasaan ragu untuk berbagi kamar dengannya. Mengingatkanku pada peristiwa beberapa hari yang lalu di kantor PBB.

Hari kedua di Nairobi, kami mengunjungi kantor PBB. Pemeriksaan masuk kesana sangat ketat. Wajar saja, karena kantor PBB ini memang kantor utama untuk seluruh urusan di Benua Afrika.

No automatic alt text available.

Petugas keamanan memeriksa paspor kami satu per satu. Setelahnya, aku dan teman-teman saling bertukar paspor. Sekedar memuaskan rasa ingin tahu bagaimana paspor dari negara-negara lain. Saat itulah, kehebohan terjadi. Paspor Iran milik Zee menjadi pusat perhatian.

”Lho, kepalamu kok ditutup sih disini?” pertanyaan awal dari salah seorang temanku yang kemudian menarik rasa penasaran dari semua orang.

Ya, meskipun saat itu Zee mengenakan hotpants dan kaus pendek, tapi ia mengenakan jilbab pada paspornya. Zee pun mulai bercerita tentang getirnya menjadi wanita di Iran. Dimana mereka dipaksa mengenakan jilbab, yang menurut Zee, telah membelenggu kebebasannya. Belum lagi cerita-cerita lain yang membuat telingaku merah mendengarnya. Lalu dengan santainya setelah semua peristiwa itu, dia mengajakku untuk berbagi kamar dengannya.

Wajah memelas Zee masih belum juga menyingkir dari pintu kamar. Tak tega melihatnya, akhirnya aku yang mengalah. Kukepak kembali semua barangku lalu beranjak ke kamar baru. Kamar yang aku tempati dengannya selama 1,5 bulan di Kisumu.

Image may contain: indoor

Dua minggu pertama berbagi kamar dengan Zee, kami tak pernah benar-benar mengobrol. Sampai suatu sore, dia yang berpamitan pergi ke supermarket padaku sejak pagi, tak kunjung pulang ke kamar. Aku mulai cemas lalu menghubungi dosenku.

Tak ada seorang pun dari kami yang mengetahui kemana rimbanya. Hingga akhirnya dia pulang setelah gelap dengan penampilan baru yang membuat semua terkejut.

Duh, ternyata Zee menghabiskan waktu berjam-jam di salon untuk mengepang kecil-kecil seluruh rambutnya. Rasta, dandanan khas kebanyakan orang Afrika. Dosenku lalu menasihati Zee sambil menceritakan betapa aku, sebagai kawan sekamarnya, mengkuatirkannya seharian ini. Dia pun memelukku. Sejak itu, hubungan kami mulai cair.

”Kamu muslim?” tanyaku setelah akhirnya percakapan-percakapan kami mulai tak terlalu berjarak.

”Syiah,” jawabnya.

”Oh, oke,” aku tak berani bertanya lebih lanjut apakah ucapannya berarti sanggahan atau pembenaran. Cukup lah bagiku dengan mengetahui ia membaca surat yang kukenali sebagai Surat Yasin dari buku yang kutemukan tercecer di lantai. Setidaknya, ia masih membaca ayat Alquran. Membuat perasaanku sedikit nyaman.

Dia lalu mulai bercerita tentang presiden dan pemerintah Iran, yang menurutnya, menggunakan agama sebagai tameng. Juga cerita bahwa negaranya mengalami kemunduran karena penerapan hukum syariah.

”Kalau kamu pergi ke Iran dengan pakaianmu sekarang, kamu bisa ditangkap polisi,” katanya sambil menunjuk bergo, blus, dan celanaku.

Menjadi non-muslim di Iran sangat sulit, baik dalam hal ekonomi, birokrasi, dan banyak hal lain. Pada akhirnya, banyak orang yang berpura-pura muslim padahal tak menjalankan ajarannya. Paling tidak, begitulah kata Zee.

Nyanyian Indah yang Mengganggu

Bepergian dengan jilbab tak pernah membawa masalah untukku. Paling-paling, hanya tatapan tak biasa yang aku dapatkan. Lain halnya dengan Nairobi yang memiliki banyak ekspatriat, pemandangan orang-orang seperti kami memang cukup sulit ditemukan di Kisumu. Apalagi orang seperti aku; berwajah Asia dan mengenakan jilbab tapi tergabung bersama rombongan yang mayoritas berkulit putih.

Beberapa kali pada akhirnya aku berjalan tanpa teman-teman. Terutama ketika proyek kuliahku dimulai. Proyek itu mengharuskanku untuk banyak berinteraksi dengan penduduk lokal. Syukurlah, tak sulit untuk berkomunikasi dengan mereka. Bahasa Inggris mereka sangat fasih. Bahkan ketika aku bilang jika di Indonesia tidak semua orang bisa berbahasa Inggris, biasanya mereka kaget. Mereka pikir, semua orang di dunia ini mampu melakukannya.

Selain itu, ketika tahu aku dari Indonesia, dengan antusias mereka akan bercerita tentang Obama, sang Presiden Amerika. ”Obama is from Kenya and his step-father is an Indonesian, so we are family!” begitu kebanyakan mereka berujar.

No automatic alt text available.

Aku pun mulai larut dengan kesibukanku. Jika sedang tak mengerjakan proyek kuliah, hari-hariku dihabiskan bersama teman-teman. Menghabiskan waktu di luar proyek yang meskipun sempit, ke berbagai tempat wisata. Kami bahkan sempat melakukan safari.

Singkat kata, aku mulai terbawa dengan cara teman-teman bule-ku menghabiskan waktu luang. Sampai suatu pagi yang akhirnya membuatku sadar.

Image may contain: 4 people

”Ngomong-ngomong, sebentar lagi kita harus kembali ke Nairobi ya. Aku jadi ingat pengalaman selama kita disana,” Annika membuka percakapan denganku dan Zee yang sedang menyantap sarapan.

”Tiap jam 4 atau 5 pagi selalu ada suara laki-laki bernyanyi. Itu maksudnya apa sih?” tambahnya lagi dengan nada gusar. Obrolan kami lalu membuat Marcus, teman Swedia-ku yang lain, menjadi tertarik untuk ikut serta.

Aku baru saja berniat untuk menjawab pertanyaan Annika, tapi Zee sudah memotong lebih dulu,

”Hahaha, cobalah tinggal di Iran maka kamu akan mendengar suara menyebalkan itu tiap pagi,” katanya sambil tertawa mengejek.

”Menyebalkan apanya? Menurutku…, itu terdengar indah,” kata Marcus.

Zee tak berkata lebih lanjut mendengar tanggapan Marcus.

”Itu panggilan beribadah,” jelasku singkat. Meskipun penduduk Kenya mayoritas Kristen, tetapi azan tidak dilarang berkumandang di sana.

Annika mengangkat bahunya, ”Baik lah, sepertinya aku harus menyiapkan ear plug sebelum kita berangkat lagi ke sana.”

Aku terdiam malu. Bukan malu karena suara azan melainkan malu kepada diriku sendiri. Hari-hari kami di Kisumu sudah hampir habis, tapi belum sekalipun aku mampir ke masjid. Azan memang tak terdengar karena letak masjid yang cukup jauh dari guesthouse-ku. Tapi bagaimanapun, sudah lebih dari sebulan aku disini. Betapa aku sudah menyia-nyiakan waktuku. Ungkapan Marcus yang menyatakan bahwa suara azan itu indah sangat menohok di dadaku. Kesibukan telah mengalahkanku untuk mendatangi rumah-Nya.

Pelajaran Dunia dan Akhirat

Keesokan harinya, saat studio kami sedang dalam masa istirahat, aku pun memutuskan untuk pergi mengunjungi Masjid. Dengan menumpang angkot berjejal dan full musik, kuberanikan diriku untuk berangkat sendiri ke sana.

Masjid itu sepi. Sudah siang menjelang sore. Kupotret bangunannya dari pinggir jalan ketika seorang laki-laki datang dari belakang tanpa aku sadari.

Image may contain: outdoor

No automatic alt text available.

“Maaf, dilarang memotret disini,” laki-laki itu menegurku. “Kenapa? Di negara saya tidak dilarang untuk memotret masjid,” kataku.

“Itu kan di negaramu, tidak disini,” tegasnya.

“Apa saya sebagai seorang muslim tidak boleh mengabadikan tempat ibadah saya sendiri?” kataku lagi, ngeyel.

“Oh, anda muslim? Silakan kalau begitu,” suaranya melunak.

Perasaanku pun campur aduk. Malu karena dia tidak mengenaliku sebagai muslimah.

Masuk ke dalam masjid, sesuatu kembali menamparku. Ya Allah, kemana saja aku selama ini? Kulihat gadis-gadis kecil sedang mengaji bersama, menyimak bacaan Al Qur’an masing-masing.

Image may contain: 5 people, indoor

Setelah melakukan sholat tahiyatul masjid, aku duduk di belakang mereka. Merenda mozaik demi mozaik kelalaianku selama di sini. Wajah-wajah polos dengan jilbab lebar itu akhirnya menatapku ketika derasan Al Qur’an mereka telah selesai. Kuperkenalkan diriku.

”Aku kira kamu orang Cina. Indonesia itu jauh ya?” kata Aminah, gadis cilik 10 tahun, salah satu dari mereka. Kuajak Aminah dan adiknya pulang bersama. Kami lalu sedikit mengobrol tentang sekolahnya, dan kehidupannya di rumah. Hanya setengah jalan, 2 km saja kebersamaanku dengan mereka. Aku pun harus segera kembali ke penginapan.

Diam-diam, kusyukuri pembicaraanku pagi itu. Pada Annika, Zee, dan Marcus. Tentang nyanyian indah yang membawaku ke masjid, dan mempertemukanku dengan Aminah dan kawan-kawannya.

Image may contain: one or more people and indoor

Bike Along Presentation

Lantas tak sekedar pengalaman melakukan proyek kuliah, tak hanya kebanggaan mempresentasikannya di hadapan petinggi PBB, tak juga ketakjuban telah menginjak benua Afrika. Melainkan kepuasan pelajaran batin, yang kemudian membawaku, yang meski masih penuh kekurangan, bermuara di hari ini.

Mengingatkanku betapa doa sapu jagat itu satu paket, Robbana aatina fiddunya hasanah, wa fil akhiroti hasanah. Maka aku mohonkan kebaikan dari-Mu di dunia dan akhirat. Tak semata keberkahan saat ini, tapi juga di hari akhir nanti.

—–

Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam seleksi antologi kisah perjalanan muslimah beberapa tahun yang lalu. Tapi gak lolos 😊

Masih dalam rangka meramaikan blog yang sempat dianggurkan juga dibuang sayang, tulisan ini akhirnya di post di sini.

Disclaimer:
Post ini hanya menceritakan pengalaman saya selama di sana, tanpa ditambah-tambahi atau dikurangi. Bukan untuk mengundang perdebatan 😊

Nama-nama yang bersangkutan pun telah disamarkan.

Advertisement

One thought on “Mutiara dari Afrika

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s