Cerita Haji: Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah-Muzdalifah – Part 1

Cahaya fajar baru saja terbit dari balik perbukitan batu di ujung Muzdalifah. Tapi kerumunan, entah berapa ratus ribu manusia, sudah menyemut. Semua berlomba ingin segera kembali ke Mina dan menunaikan jumrah aqabah di jamarat.

Saya memandang sekeliling. Hanya ada beberapa bus dari tempat saya berdiri. Dan tiap-tiap bus itu dikerumuni, mungkin, hingga 3-4 kali lipat dari jumlah kapasitas penumpang bus. Semua saling dorong dan saling sikut, memaksa untuk naik! Untuk beberapa detik, rasanya hampir tak percaya kalau saya berada di tengah-tengah jamaah haji.

Refleks, saya mengelus perut saya yang membuncit dengan janin berusia 20 minggu di dalamnya. Rasa pesimis seketika merayapi hati. Bagaimana bisa saya, yang hanya seorang diri, mampu menembus kerumunan itu dan naik ke dalam bus?

Bayang-bayang suami saya yang keberadaannya entah di mana, kembali hadir di depan mata…


Apa yang membedakan umrah dengan haji? Wukuf dan jumrah lah jawabannya. Dan bukan hanya sekedar. Karena kedua ibadah pembeda ini memang sangat menantang untuk dilakoni. Di mulai dari rangkaian mabit di Mina, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, lalu melempar jumrah.

Ketika saya menulis kembali kisah ini, tak terasa sudah 4 tahun berlalu. Masih terekam jelas setiap memorinya di selaksa kalbu. Memori yang selalu menggedor-gedor rasa untuk kembali. Sungguh, saya rindu…

Tepat 2 hari sebelum keberangkatan ke tanah suci, berita musibah dari Mekkah terdengar hingga telinga kami. “Crane jatuh di pelataran Ka’bah dan memakan banyak korban,” begitu channel berita di Spanyol turut mengabarkan.

Tak bisa dipungkiri, ada sepercik khawatir yang menyergap. Juga dengan beberapa lika-liku lain yang kami alami. Tapi rasa itu rupanya tak mampu mengalahkan gejolak dalam dada yang sudah tak sabar untuk segera bersimpuh di rumah-Nya.

Maka tibalah kami di Mekkah –melalui Madrid, Kairo dan Jeddah– dalam suasana yang masih berbalut duka. Alhamdulillah, rangkaian awal perjalanan ibadah kami lalui dengan lancar. Saat itu, kami masih tinggal di pemondokan di Aziziyah. Penginapan di dekat Masjidil Haram memang sedianya baru akan kami tempati setelah wukuf dan jumrah tuntas dilaksanakan.

Sehari sebelum wukuf, kami pun sudah berdiam dalam tenda-tenda di Mina. Tenda-tenda ini kemudian dibagi dalam beberapa komplek. Jamaah dari Spanyol seperti kami, bergabung dengan jamaah lain dari Eropa, Amerika, dan Australia. Tapi jangan bayangkan banyak wajah bule, ya. Bule tentu saja ada, tapi mayoritas jamaahnya ya muslim yang pendatang seperti kami. Alhasil jamaah dari Amerika biasanya keturunan Afrika, sementara jamaah dari Inggris rata-rata imigran IPB (India-Pakistan-Bangladesh 🙂 )

Setelah semalam di Mina, hari wukuf itu akhirnya datang juga. Dua juta orang yang berkumpul di padang arafah pun sibuk dengan dirinya sendiri. Bertobat, memanjatkan setiap untai doa yang mereka punya. Pipi-pipi basah yang berlinang air mata tampak di setiap penjuru.

Beberapa helikopter juga terlihat berputar-putar di atas langit Arafah. Wukuf Arafah merupakan rukun haji, dan tak ada penggantinya. Maka helikopter-helikopter itu biasanya adalah helikopter ambulan yang membawa jamaah yang sedang sakit payah. Belum lagi ditambah jamaah-jamaah yang berada dalam mobil ambulan biasa. Karena dua juta jamaah haji, tak ada alasan, harus datang ke Arafah untuk melaksanakan wukuf. Laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariikalah. Lahul mulku walahul hamdu wa hua alaa kulli syai’in qadiir!

Tenda Wukuf Jamaah asal Spanyol di Arafah

Menjelang ashar, kami menyempatkan mampir ke komplek tenda Arafah tepat di seberang komplek tenda kami yang rupanya merupakan kloter jamaah haji dari Cianjur. Awalnya, saya ingin mencari Kakek (kakak dari Nenek saya yang juga sedang berhaji dengan asal kloter dari Garut). Tapi rupanya yang saya temukan justru sahabat baik Ua saya di Cianjur. Begitulah nikmatnya menjadi orang Indonesia, sahabat kerabat pun serasa kenalan dekat 😀

Matahari mulai tergelincir. Deretan bus sudah terparkir rapi di area kloter-kloter dari Indonesia. Ketika maghrib akhirnya tiba, satu persatu bus itu sudah pergi meninggalkan Arafah untuk membawa jamaah mabit di Muzdalifah.

Situasi berbeda rupanya harus kami alami di area Eropa, Amerika, dan Australia. Malam sudah lewat dari waktu Isya. Tapi suasana masih saja ramai. Perasaan gelisah mulai menyergap, bagaimana dengan nasib mabit kami?

Gelap dan Berbayang Menjelang Dini Hari di Arafah.
Sebagaimana suasana hati kami yang mulai tak menentu tanpa kepastian akan waktu keberangkatan ke Muzdalifah.

Mabit di Muzdalifah seusai wukuf di Arafah hukumnya adalah wajib. Dan jamaah seharusnya sudah berangkat ke sana dari Arafah sejak matahari terbenam. Meski bagi jamaah yang memiliki keterbatasan seperti orang sakit, hamil, wanita lemah, atau lansia diperbolehkan membayar dam sebagai gantinya jika tak mampu melaksanakan. Maka wajah-wajah yang terlihat paling tegang di antara kami, tentu saja, adalah wajah-wajah para jamaah laki-laki.

Waktu dini hari pun sudah menjelang. Tapi masih sekitar 1/3 dari kami yang tertahan di tenda Arafah. Tak ada kepastian kapan giliran kami akan diberangkatkan ke Muzdalifah. Capai, gelisah, dan khawatir menumpuk jadi satu. Dari kloter Spanyol, jamaah-jamaah keturunan Maroko sudah terlihat beberapa kali bersitegang dengan Hasan, pimpinan travel kami.

Mendengar perdebatan berbahasa Arab yang tak saya mengerti, saya memilih melipir masuk ke dalam tenda berpendingin yang sudah ditinggalkan oleh jamaahnya ke Muzdalifah. Tenda itu sudah beralihfungsi menjadi tempat peristirahatan ibu-ibu jamaah Spanyol. Kondisi saya yang sedang hamil membuat saya tak mau ikut pusing dan memilih untuk ikut beristirahat.

Akhirnya waktu dini hari benar-benar sudah tiba. Suasana makin mencekam dengan aroma ketegangan di tiap jamaah. Sungguh, waktu kami tinggal sedikit karena mabit di Muzdalifah harus dilakukan sebelum subuh datang! Suami saya lalu tiba-tiba datang mencari dan memanggil-manggil saya dari luar tenda.

“Aku mau jalan kaki ke Muzdalifah, sama yang lain,” begitu katanya ketika akhirnya saya menemuinya.

Saya terdiam, setengah tak percaya mendengar apa yang baru saja dia katakan.

“Maksud Mas, jalan kaki gimana? Terus aku gimana?”

“Iya jalan dari sini, cuma 5 km aja kok. Aku jalan sama jamaah laki-laki yang lain. Kita nggak bisa terus-terusan nggak jelas begini. Kalau kamu kan perempuan, lagi hamil pula. Kamu di sini aja sama ibu-ibu yang lain. Kamu punya rukhshoh dan nggak perlu memaksakan untuk sampai ke Muzdalifah,” wajah suami sempat menegang saat kata-kata “nggak jelas” keluar dari mulutnya.

“Tapi…,” saya masih ragu.

“Udah nggak apa-apa, percaya sama aku. HP kamu mana?”

Saya lalu menyodorkan HP saya yang saat itu sudah mulai lemah baterainya.

“Aku bawa ya HP-nya. Punyaku sudah benar-benar habis baterainya,” dia lalu meraih tangan saya untuk berpamitan.

Malam itu, saya tunggu sampai punggungnya benar-benar menghilang dari pandangan. Sambil melangitkan harap bahwa perjalannya ke Muzdalifah akan baik-baik saja. Saya pun memutuskan untuk akhirnya memejamkan mata di dalam tenda.


Rasanya baru sebentar saya tertidur ketika bahu saya terasa diguncang-guncang.

“Come,” kata seorang jamaah wanita yang beberapa kali sempat bertukar bicara dengan saya dalam bahasa Inggris berpatah, “we go to Muzdalifah,” katanya.

Separuh nyawa saya belum benar-benar memegang raga ketika saya kemudian mengemasi barang-barang untuk segera berangkat. Saya memandang berkeliling, beberapa ibu terlihat masih pulas. Barangkali menunggu giliran dibangunkan, begitu batin saya. Dengan kepala berat, saya ikuti langkah jamaah yan membangunkan saya, sebut saja Amena, menelusuri jalur setapak.

Lampu jalan kemudian menunjukkan bahwa kami sudah tiba di pinggir jalan besar. Rupanya di depan Amena sudah ada suaminya yang memimpin. Adapun di belakang saya, tak saya perhatikan ada siapa saja yang mengikuti. Migrain yang seringkali menyerang di kehamilan kali itu membuat pandangan saya hanya terpaku ke depan.

Sebuah bis besar lalu berhenti tepat di depan kami. Mengikuti Amena dan suaminya, saya ikuti langkahnya naik ke dalam bis itu.

“Blakk!” suara pintu yang tertutup di belakang saya menyadarkan saya. Bahwa saya adalah orang terakhir yang masuk ke dalam bis. Tidak ada jamaah lain dari kelompok kami, hanya kami bertiga!

Sambil duduk, saya mulai memandang ke sekeliling. Sebagian besar penumpang bis ini adalah pria berihram. Membuat saya cukup lega. Meski salah seorang di antara mereka ada yang bertato di sepanjang tangannya. Dari caranya berbicara bahasa Inggris, sepertinya keturunan Afro-Amerika. Sementara seseorang yang tampak seperti kernet mulai menghampiri kami. Saya mulai merasa ada yang tidak beres.

“20 real,” kata Amena.

Rupanya bis ini semacam omprengan. Jelas sudah, saya terpisah dari kelompok kami di Arafah! Lebih fatal lagi, tak ada HP yang saya pegang untuk mengabari. Untung saja masih ada 20 real di saku baju saya.

Saya kuatkan hati, toh suami saya pun sudah berangkat dengan beberapa jamaah laki-laki. Jadi biarlah kalau ini jalan kami untuk sendiri-sendiri menuju Muzdalifah.

Sepanjang perjalanan yang penuh dengan bukit batu, tak henti-hentinya saya melempar pandangan ke luar jendela. Menelisik setiap rombongan pejalan kaki yang kami lewati, berharap barangkali ada terselip wajah suami saya di situ.


Sesampainya di Muzdalifah, hampir tiap sudutnya sudah penuh dengan manusia. Entah di dunia nyata sebenarnya ia adalah pejabat, orang super kaya, atau orang penting, tak ada yang bisa disombongkan di sini. Ketika semua manusia-manusia berbalut ihram, berbaring beralas bumi dan beratapkan langit.

Area Muzdalifah yang kami datangi berbatu. Karena sunnah mabit di Muzdalifah adalah tidur atau berbaring, maka saya segera mencari alas tidur seadanya untuk saya hamparkan. Kalau bukan karena janin di dalam perut, mungkin saya tidak akan repot-repot mencari. Alhamdulillah selembar kardus yang sudah tak bertuan segera saya ubah menjadi alas tidur.

Suasana di Muzdalifah

Mencoba memberanikan diri, saya tanya Amena, “Boleh aku pinjam HP-mu Amena?” Bagaimanapun juga, kecemasan ini tak akan berujung sampai saya berhasil menghubungi suami saya.

“HP-ku mati,” katanya sambil menunjukkan layar HP-nya yang hitam. Saya pun hanya bisa mengulum kecewa.

Subuh hampir tiba, sambil memandang langit berbintang, kembali saya panjatkan doa untuk Ayah dari anak-anak saya. “Mas, seandainya saja kita sama-sama di sini…”


Mungkin hanya 15 menit saya berbaring ketika akhirnya waktu subuh tiba. Setelah menunaikan shalat subuh dan mengemas kerikil-kerikil yang sudah saya pungut untuk jumrah nanti, kami pun bersiap untuk kembali ke arah Mina.

Tampak beberapa bus sudah datang, tapi melihat gelombang manusia sebegitu banyaknya, jelas tak akan langsung tertampung semua.

Amena menggenggam tangan suaminya. Di detik itu saya merasa seperti anak hilang yang mengikuti pasangan suami istri ini kesana kemari.

“Ayo masuk!” teriaknya.

“But how?” saya kembali mengelus perut saya. Tidak mungkin saya biarkan janin ini terhimpit karena harus memaksa naik ke dalam bus. Di depan saya, pemandangan seorang nenek berwajah India tampak kepayahan karena tertarik-tarik, dipaksa masuk ke dalam bus oleh keluarganya.

Kacau!

Tentu saja tak ada satupun wajah jamaah Indonesia karena berhaji dari Indonesia, sebagaimana saya ceritakan, sangat jauh terorganisir dibanding negara lain.

“Help! Help!” nenek itu mengiba. Saya lihat Amena dan suaminya sudah nyaris masuk ke pintu bus.

Saya kemudian mengambil jalan memutar, lebih karena tak kuasa melihat pemandangan nenek di depan saya.

Lalu entah bagaimana caranya, saya bisa berada di dalam bus! Dan mendapatkan kursi nyaris terakhir di bagian belakang, Allahu akbar!

Di luar bus, lautan manusia masih terus memaksa masuk.


Setelah sekian klakson dan berjalan dengan sangat hati-hati, akhirnya bus kami bisa melaju hingga Mina. Di depan komplek tenda kami, Mr. Sweety, begitu saya dan suami memanggilnya sudah tampak terlihat dari kejauhan. Mr. Sweety adalah anak dari pimpinan travel kami. Ia bertugas membantu Hasan, Ayahnya. Kenapa saya dan suami menjulukinya Sweety, karena begitulah biasa Ayahnya memanggilnya.

“Riana!” wajahnya terlihat antara lega, cemas, bercampur sedikit marah, “Ya Allah kamu ke mana saja?!”

“Aku ikut Amena, aku kira kalian semua ada di rombongan itu! Aku juga nggak tahu kalau ternyata aku terpisah dari kalian,” terang saya.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Riana, Riana. Sudah sana, segera istirahat dan kembali ke tendamu.”

Saya mulai menangkap gelagat yang tidak biasa. Benar saja, begitu sampai tenda, jamaah-jamaah wanita yang hanya tersisa setengah baya dan lansia merangkuli saya satu persatu. Beberapa di antaranya bahkan sampai hampir menangis, menciumi pipi saya bolak-balik.

“Masya Allah, alhamdulillah! Kamu kemana saja?” pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Spanyol terpatah-patah bergantian terdengar di sana-sini.

“Tu marido, suamimu, Ya Allah, kasihan suamimu!”

Deg, mendengar suami saya di sebut saya langsung panik.

“Suamiku di mana? Kenapa dia?”

— bersambung ke:

Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah-Muzdalifah – Part 2

6 thoughts on “Cerita Haji: Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah-Muzdalifah – Part 1

  1. Pingback: Cerita Haji: Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah-Muzdalifah – Part 2 | Keluarga Ibrahim

  2. Pingback: Romantisme Jumrah dan “Tragedi” Arafah – Muzdalifah – Part 3 (Selesai) | Keluarga Ibrahim

Leave a comment