Sebenarnya sudah sejak dari 2 minggu yang lalu ingin menulis tentang ini… Tapi saat itu lagi heboh masalah roti yang itu tuhhh, jadi daripada bias (selain memang tidak dimaksudkan untuk apple-to-apple), saya tunda aja 🙂
Alkisah lebih dari 8 tahun yang lalu, ketika kami akhirnya pertama kali merantau ke Eropa. Muda (ehm 😀 ) dan tidak berpengalaman. Saat itu masalah perut bagi kami merupakan masalah yang cukup mendasar. Selain kemampuan memasak saya yang nol besar, kami juga harus menghadapi kenyataan bahwa we were the minority. Artinya, tidak gampang bagi kami untuk mencari makanan halal.
Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan makanan halal? Apakah hanya sekedar “asal tidak mengandung B2”? Terkadang, karena kita tinggal di negara mayoritas muslim, kita jarang berpikir (take it for granted) bahwa makanan itu, asal gak ada B2nya, pasti halal.
Padahal kenyataannya, jauuuuhhh lebih kompleks dari itu.
Pertama, kalau untuk makanan mentah seperti ayam atau daging, jelas patokannya adalah apakah sudah disembelih sesuai syariat atau tidak.
Kedua, untuk makanan jadi. Ini yang susah. Tahu kah bahwa bahkan kecap ikan, santan kemasan, juga bisa jadi tidak halal?
Saat itu, setelah sempat terbengong-bengong (=tersadarkan) dengan fenomena di tanah rantau, kami pun jadi makin rajin membaca. Bukan membaca di perpustakaan melainkan membaca di supermarket 😀 Tiap mau beli produk, dilihat apakah ada logo halal/tidak. Kalau nggak ada, baru deh baca ingredients, sambil lihat contekan kode E.
Nah lho, apa itu kode E? Dulu sih sempat beredar isu kalo kode E itu kode terselubung untuk makanan yang diharamkan. Padahal, enggak juga. Kode-E atau E-number menurut UK Food Standard Agency adalah kode untuk bahan tambahan/aditif makanan yang telah dikaji oleh Uni Eropa. Kadang-kadang, kemasan produk makanan hanya mencantumkan komposisi bahan dalam bentuk kode (E) saja. Itu lah perlunya kita punya catatan/list mengenai kode E tersebut.
Bahan tambahan yang dikodekan dengan huruf E dan angka di belakangnya bermacam-macam. Mulai dari pewarna sintetis, sampai bahan pengemulsi yang biasanya dari hewan. Kalau sudah turunan hewan begini, baru lah kita harus waspada. Daaann… bahan pengemulsi ini hampir selalu ditemukan dalam setiap produk makanan! Mulai dari es krim, roti, santan, makanan ringan…. Saya ambil satu contoh. Untuk kode e-471 misalnya, adalah kode emulsifier yang berasal dari lemak.
Kode e-471 ini biasanya ada di mana-mana. Tapi juga jangan lantas curiga ketika mendapati kode e-471 dengan logo halal MUI ya… Sudah ada logo halal, ya, artinya lemak yang digunakan juga dari hewan halal… Atau, malah memang emulsifiernya dari tumbuhan. Ketika di rantau, biasanya saya cukup teryakinkan jika membaca kode e-471 yang diikuti dengan tanda kurung (nabati/soya/vegetal). Bisa juga telepon langsung ke layanan konsumen-nya kalau ragu. Karena itu lah di berbagai contekan E-number biasanya e-471 hukumnya mushbooh (dipertanyakan), gak lantas di generalisasi pasti haram.
List kode E: http://www.halalcertifiering.se/halal_haram_e_nummer.pdf
Oke, move on dari kode E… Urusan per-dapur-an orang Indonesia pasti nggak jauh dari makanan dengan bumbu seabrek. Kalau belanja di toko Asia, saya suka kagum dengan Thailand. Bumbu dan bahan-bahan impor segar/frozen hampir semuanya berasal dari sana. Kunyit, lengkuas, serai, daun jeruk… Hebat lah mereka. Padahal kita juga punya komoditas yang sama ya? 😀
Lebih kagum lagi ketika berbelanja produk bumbu/saus/makanan instan mereka… yang juga sudah banyak berlogo halal! Mulai dari kecap manis, kecap asin, kecap ikan, mie instan, bumbu kari, santan… Luar biasa! Padahal mereka bukan negara muslim, dan juga tidak (hanya) mengimpor produk tersebut ke negara muslim. Ge-eR nya saya sih karena konsumen mereka juga tidak hanya orang Thailand, tapi juga Indonesia, Malaysia, yang memakai produk sama tapi mayoritas muslim 😀
Terlepas dari latar belakangnya bisnis atau bukan, but they do consider halal seriously. Kita nyaman berbelanja halal, mereka juga pasti senang karena produknya terjual.
Pernah waktu saya belanja di toko Asia di Sevilla, manajernya yang melayani saya di kasir. Melihat produk kecap asin berlogo halal di keranjang saya, dia bilang, ”Kami juga sedang mengusahakan supaya semakin banyak produk dengan logo seperti ini yang masuk sini.” Appreciate!
Karena itu lah, betapa sedihnya saya ketika #akhirnyapulkamjuga dan mendapati gerai besar roti yang sangat terkenal (dan antrinya panjang), yang ternyata saat ini tidak meregistrasi kehalalan produknya ke LPPOM MUI. Padahal mereka beroperasi di Indonesia, negara mayoritas muslim, dan berasal dari negara yang muslimnya juga cukup banyak. Sediiiiihhh banget. Padahal, gerai tersebut sempat punya sertifikasi halal, tapi kenapa tidak diperpanjang?
Sampai suatu hari, ketika sedang sakau roti enak, ketemu lah saya dengan gerai roti lain. Breadlife namanya. Awalnya sih skeptis, logonya soalnya ada huruf jepangnya *jitak pala sendiri :)). Terus iseng-iseng saya masuk (kasian gerainya sepi banget, beda sama si gerai sebelah). Eh kok ada logo halal MUI dengan nomer registrasinya ya… Tapi waktu ditanya copy sertifikatnya, dia nggak majang di toko. Meskipun gitu, tetap saya bawa pulang lah sweet butter bread yang menul-menul lagi murah itu.
Sampai di rumah, langsung saya kroscek ke web LPPOM MUI dan ternyata betul sudah teregistrasi halal sampai tahun 2018 (http://e-lppommui.org/Search/Customer_Product.php?search=breadlife)
Alhamdulillaah… Akhirnya dapat juga alternatif dari gerai roti yang itu. Rotinya pun masya Allah enaknyaaaaa 😀 Ada hikmahnya juga saya tunda postingan ini, karena baru-baru ini Breadlife juga share langsung di sosmed mereka tentang kehalalan produknya.
”Emang sebegitu pentingnya kah kepastian halal/tidak? Kan yang belum berlogo halal juga belum tentu haram!”
Betul, hukum asal segala sesuatu itu adalah mubah sampai ada yang menyatakan haram. Jadi kalau urusan kerudung misalnya (eh), gak perlu terlalu khawatir meskipun belum berlogo halal.
Bersyukur kita punya MUI yang kemudian memberikan kita pilihan, terutama untuk makanan. Makanan (halal) bagi saya sangat penting, karena makanan lah unsur utama yang membentuk tubuh kita, darah dan daging kita.
Jadi kalau sudah ada pilihan (roti) yang sudah halal, kenapa milih yang belum halal? 🙂
Jujur, saya bertanya-tanya dengan kebijakan roti gerai sebelah yang entah kenapa tidak memperpanjang sertifikasi halalnya. Padahal outlet makanan lain (yang sama besar atau bahkan lebih kecil), mensertifikasi halal produk mereka.
FYI, para penganut Yahudi juga memiliki lembaga sertifikasi kosher. Jadi ya memang sangat-sangat wajar (dan harus), bagi para pemeluk agama untuk mengikuti apa yang sudah diperintahkan.
Dalam Al Qur’an, Allah Swt. berfirman, ”Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal saleh. Sesungguhnya, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. al-Mu’minuun [23]: 51).
Maksud makanan yang baik-baik dalam ayat ini adalah makanan yang halal lagi baik. Mengonsumsi makanan yang halal lagi baik diperintahkan terlebih dahulu sebelum mengerjakan amal saleh. Mengapa? Karena mengonsumsi makanan yang halal akan membantu kita untuk melaksanakan amal saleh. (sumber)
Makanya, jangan sampai skeptis sama MUI 😀 Kepastian halal itu sangat sangat penting. Kalau ada yang bilang sertifikasi halal itu (mahal dan) ribet, emang dianya aja yang mungkin nggak niat/nggak butuh. Untuk bisa tahu makanan halal/tidak itu nggak gampang, harus dirunut sampai ke turunan atasnya. Dan memang prosesnya pasti lah tidak murah. Lembaga Kosher pun ada biayanya kok. Tapi dengan sertifikasi halal, konsumen pun akan lebih tenang, lebih loyal, dan lebih banyak yang datang…
Ini dibilang sekalian promosi Breadlife juga nggak apa-apa, dengan senang hati walaupun gak dibayar hehe… Saya sangat mengapresiasi langkah mereka. Sengaja juga saya promosikan, supaya kedai Breadlife ini jangan sampai sepi dan kalah saing sama gerai yang satu lagi. Kalau sepi terus tutup, nanti harus kemana lagi cari roti halal yang enak? Huhu.
Tentu saja kalau menyangkut tukang bubur ayam, tukang soto, itu berbeda urusan… Tidak levelnya kalau dibandingkan dengan kemampuan si gerai roti raksasa. Maka untuk mereka si pedagang kecil, kembali ke hukum asal mubah dan bismillaah 😀
#AnotherSelfReminderPost
Sumber foto:
Facebook Page Breadlife
Wah baru tahu kalau Breadlife halal MUI 😊 Makasih infonya mba.
LikeLike
cuuuuuussss mbak, langsung ke gerai breadlife 😀
LikeLike
Breadlife ada halal MUI nya ya, baru tau
LikeLike
alhamdulillaah, yuk dibeli hehe 😀
LikeLike
Soal thailand yg consider penuh akan produksi pangan mereka, sepakat banget Ri..
Mereka didukung direct commercial flight ke negara2 tujuan eksport u memudahkan ekspedisi bahan pangan segar (cost jd lbh murah), selain jg agar negaranya lbh mudah dikunjungi turis asing.
LikeLike
kita kepengen nyobain yang mie2an itu mba, tapi blum ada label halalnya, jadi gak jadi terus belinya
LikeLike
Asik nanti dikirimin breadlife sama ibuk nya RaBiA 😀
LikeLike
wah infonya bagus, baru tau nih kalo breadlife halal
LikeLike