This thing becomes more real…
Perkara ini sudah berbulan-bulan lamanya menjadi trending topic di pembicaraan keluarga kami.
Siapa yang tak ingin (kembali) tinggal di Eropa? Transportasinya yang nyaman… Lingkungan yang aman… Udara yang bersih… Teknologi yang mutakhir… Masyarakat yang maju… Empat musim pula, syukur-syukur kalau dapat yang bersalju tebal π What a perfect world to live, apalagi buat orang Indonesia π
Delapan tahun sudah Allah memberikan kami kesempatan tinggal di sana. Dan delapan tahun itu… adalah delapan tahun yang menggoreskan warna-warni indah dalam hidup kami.
Sejak pertengahan Juli lalu, kami memang sudah kembali ke Indonesia. Kalau boleh meng-klaim, keputusan untuk pulang ini sebenarnya lebih banyak dari sisi saya. Saya yang lebih ngebet untuk pulang. Mungkin itu pula sebabnya, ketika teman-teman senasib (alias ex-perantau) nanya ke saya mengenai culture shock atau enggak, saya jawabnya enggak π
I (try to) face the consequences.
Meskipun di sini macet, kemana-mana musti naik kendaraan, panas, nyamuk, administrasi yang ribet…. dibawa santai aja.
Tapi bisa jadi, karena sampai saat ini saya masih nebeng di ortu juga sih, hehe. Jadi belum terlalu ngerasin the real life. Well, let see how it goes in upcoming months π
Lalu kenapa saya sebegitu ngebetnya untuk pulang aja?
Anak-anak.
They are my main consideration.
The girls, terutama Raya, tahun ini sudah menjelang usia 6 tahun. Mengingat kami belum/tidak memutuskan untuk tinggal di luar negeri selamanya, maka pendidikan menjadi salah satu faktor yang paling penting untuk di-consider. Kurikulum Indonesia berat, jelas kalau dibandingkan dengan negara Eropa pada umumnya. Kalau dia harus pulang di tengah-tengah usia SD misalnya, kami khawatir akan cukup berat proses peralihannya dari negara rantau ke tanah air. Apalagi, bahasa Indonesia Raya juga belum bagus.
Kedua, faktor yang lebih penting adalah… agama. Sejak 2 tahun yang lalu, tiap kami berlibur ke Indonesia, Raya dan Bita saya ikutkan ke kelas TPA/TPQ. Lalu ketika kami akhirnya meninggalkan Sevilla pertengahan Juli lalu, kelas TPA ini pun kembali kami rutinkan untuk Raya dan Bita.
Hingga akhirnya ketika wacana untuk kembali ke Eropa itu hadir kembali…. Saya makin berat untuk meninggalkan Indonesia lagi.
Mendengar mereka bersenandung, “Yaaa Hayyu yaaa Qoyyum birohmatika astaghits…,” di sela-sela bermain…
Mendengar hafalan hadits, yang meskipun masih tertukar-tukar, tapi lantang mereka ucapkan kapanpun dan dimanapun…
Melihat mereka gegas meraih jilbab, meski baju tak menutup sempurna, ketika adzan maghrib berkumandang memanggil mereka ke musholla…
Bagaimana bisa saya merelakan gambaran itu hilang lagi?
Saya “terlahir” menjadi ibu di rantau, mendidik dan membesarkan anak sepenuhnya di sana. Maka berat dan tidak mudahnya menanamkan nilai islam dan suasana islami pada anak-anak sudah kami rasakan. Tentu tidak semua perantau seperti kami, banyak orang tua yang mampu mendidik anak-anak mereka dengan baik dan islami, meski hidup sebagai minoritas. And I, really, really, salute them.. Sungguh ortu keren dan hebat! Tapi bagi saya… saya tidak bisa menafikan kenyataan bahwa saya juga butuh supporting communities.
Iqra’ Raya yang sempat saya ajarkan terpaksa tersendat ketika Bita mulai makin menuntut perhatian, apa lah lagi ketika Alma lahir. Belum lagi mengajarkan puasa yang jatuhnya beberapa tahun belakangan (dan tahun-tahun ke depan) masih di musim panas. Ditambah kenyataan bahwa selama ini mereka belum pernah benar-benar merasakan riuh-nya lebaran, idul adha, tahun baru hijriah, maulid nabi…
Di sisi lain, kesempatan untuk kembali ke Eropa ini adalah kesempatan yang berharga bagi Bapaknya anak-anak. Maka akhirnya, diskusi yang tadinya tak berujung itu pun menemukan kesudahan…
Long Distance Marriage.
Hampir 11 tahun lamanya kami hidup bersama, dengan 5 tahun belakangan diwarnai oleh celoteh anak-anak. Baru kali ini kami harus merelakan hidup terpisah. (Pernah sih, setahun pertama menikah, tapi Jkt-Bdg mah nggak ada apa-apanya dengan yang sekarang). Apa mau dikata, negara, terutama kota tujuan suami nanti, belum kami lihat sebagai tempat yang kondusif untuk penanaman pondasi agama bagi anak-anak. Masjid terdekat saja ada di luar kota, sekitar 30-45 menit waktu tempuh.
Tentu saja tidak menutup kemungkinan bagi kami untuk kembali merantau lagi…. Tapi belum saat ini. Maka biarlah mereka memupuk akar akhlak dan pengetahuan dahulu di sini. Semoga dengan akar yang baik, akan tumbuh pula bunga yang baik.
Bismillaah.. Hanya kepada Allah lah kami berserah dan mengharap penjagaan-Nya. Semoga apa yang kami jalani saat ini dan nanti, adalah jalan keberkahan yang Allah ridhoi.
End of Dec, 2016.
Counting the days for my husband to be back to Europe.
bentar lagi LDr an ya..
mudah2an cepat adaptasi sekolahnya ya untuk Raya
LikeLike
Aamiin.. Makasih banyaakk mbak… π
LikeLike
Semoga yang terbaik yaaa untuk semuanya π
LikeLike
Aamiiin ya Allah.. Makasi mbak.. π
LikeLike
Ternyata ada plus minus nya juga ya, selama ini aku melihat mbak Riana enak bgt tinggal di luar negeri. Berarti disyukuri saja saya yg blm pernah ke luar negeri ini hehe. Smg mbak riana sekeluarga sehat selalu, kalaupun LDM, semoga dimudahkan
LikeLike
Begitu lah yang saya rasakan, Mbak… Di mana pun pasti ada plus minus nya π Aamiin, makasih banyak ya mbak.. Semoga doanya kembali pula ke mbak Ratna π
LikeLike
semangat mbak ria…. la tahzan innallaha ma’ana….semoga akan selalu diberikan kemudahan oleh allah swt untuk dirimu sekeluarga….guru ngaji saya pernah bilang : saat kita mengejar dunia, hanya dunia yg kita dapatkan. tapi pada saat kita mengejar akhirat, dunia dan akhirat kita dapatkan. salam sayang untuk raya, bitha dan alma dari kakak S π
LikeLike
Semangat teh Riana πͺπ»πͺπ»ππ
LikeLike
Makasih teeehhh :* :*
LikeLike
semoga di tempat barunya berkah ya mba riana…saya penggemar blogmu lho mba π
LikeLike