Jalan Waris dan Perjuangan

#CeritaBapak

ibrahim1.jpg

Once Upon a time in Seville..
Dik Ibrahim Pascual (Dik Juan) – Generasi pertama Muslim Spanyol
Mas Ibrahim Hernandez (Mas Luis) – Generasi ketiga Muslim Spanyol
Ibrahim Rohman al Njatinomy, indonesiyah – Generasi ke-N Muslim Indonesia 😀

Saya terlahir di keluarga dan lingkungan yang homogennya kelewat “parah” 🙂Lahir di suatu desa yang penduduknya 99.99% Muslim. Tumbuh kembang di lingkungan dengan lokasi pesantren yang hanya sepelemparan batu…Tidak hanya terbiasa mendengar adzan sholat fardu lima sekali sehari, saya juga terbiasa mendengarkan bacaan Qur’an, wirid, majlis, dan pelajaran madrasah. Kalau dihitung-hitung hampir 24 jam 🙂

Bayangkan: Mulai dari jam 3 pagi, kita sudah terbiasa mendengar panggilan :

“Ajjilu bis-solati qoblal-faut, wa ajjilu bit-taubati qoblal-maut—segeralah sholat sebelum terlambat dan ajal menjemput. Itu adalah panggilan untuk sholat malam..

Jam 4 pagi giliran tarhim datang:

“Asholaatu wassalamualaik..Yâ Imâmal mujâhidîn…dst”.

Kalau di tempat lain mungkin dikumandangkan hanya di bulan puasa untuk menandai waktu sahur yang segera berakhir, di tempat saya 365 hari setahun 🙂Semua dengan loud speaker.
Beberapa menit dari tarhim, adzan subuh berkumandang. Selepas itu derasan Al Quran dibaca nonstop sampai matahari terbit. Selepasnya, kegiatan madrasah rolling dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore (dengan istirahat siang). Maghrib-Isa kembali di sandwich dengan lalaran dan sorokan Qur’an.

Karenanya merasakan white noise –malam sunyi di mana kita tidak mendengar apa-apa, mungkin hanya ada di interval waktu jam 10 malam —3 pagi. Kalau bulan Ramadan datang, pun time dividend ini “diambil” untuk tadarusan 🙂

Pada awal usia SD saya biasa main ke sungai (atau main entik, atau kasti ) sambil spontan keluar dari mulut saya “Faala—Faala—Faaluu—Faalat—Faalata –Faalna”..Tanpa saya tahu artinya. As simple as karena saya mendengar bacaan itu hampir setiap saat. (At the end saya jadi tahu itu adalah konjugasi verb dalam Bahasa Arab–dasar-dasar shorof) 😀 . Saya hafal Yasin, Al Waqiah, atau Asmaul Husna sejak kecil bukan karena saya anak soleh yang belajar dengan temaram lampu teplok di pojokan langgar 🙂 Lagi-lagi, as simple as karena saya mendengarnya constantly…

Jadi saya berpikir agama (dan segala dekorasi dekorasi amaliahnya) itu ascribed status bukan achieved status. Dia warisan! Nasib-nasiban! Pas kita terlahir dari keluarga, maaf, abangan misalnya, ya mungkin pemahaman kita akan berbeda

Exposure saya terhadap umat beragama lain, sangat terlambat, baru ketika saya masuk SMP saya baru menyadari ternyata ada orang beragama selain Islam. Kok ya ndilalah saya berteman dengan teman-teman yang sangat devout dalam beragama.
Mungkin karena saya (kita) berpikir agama itu hanya warisan, perlu upaya disrupsi (shaking our mind) tentang apa yang kita percayai. Bayangkan pada usia 15 tahun kita sudah melakukan debat terbuka agama yang ditonton banyak anak di perpustakaan sekolah 🙂 Pertanyaan-pertanyaan ketauhidan kelas berat, misalnya : “Eli lama sabachtani“ kita diskusikan..

Sekarang? Saya berteman sangat baik dengan teman debat saya tersebut yang berkarir di salah satu lembaga pemerintahan di Jakarta.

Fast forward,

Saya pindah ke Swedia dan dalam lima tahun periode tersebut, minimal ada dua orang yang sangat membekas di hati saya. Pertama, katakanlah namanya Pak Tommy, beliau adalah programmer komputer yang bekerja di rumah sakit. Kalau Ramadan menjelang seperti sekarang, dia mulai bercerita antusiasmenya bagaimana strateginya mengatur waktu, sebagai mualaf untuk berpuasa penuh 30 hari (kita berpuasa 20 jam lamanya di Swedia).

Saya pernah tersentak oleh pertanyaanya “Mas, boleh nggak ya kalau saya bolong puasa. Kadang kalau pas sudah lemas sekali….saya berpikir akan berakibat fatal kepada pasien kalau saya kehilangan konsentrasi pekerjaan). Masya Allah…

Beliau terbiasa bekerja overtime setiap hari Senin-Kamis, agar setiap Jumat memiliki waktu ekstra untuk sholat Jumat…dan bisa mendengarkan khutbah dengan khusu tanpa harus terburu-buru kembali ke kantor…

Agama itu ternyata diperjuangkan!

Ada juga namanya, katakanlah Pak Martin. Duluuu sekali pas kuliah di Swedia masih gratis, influk mahasiswa IPB banyak sekali (bukan IPB Baranangsiang ya, India-Pakistan-Bangladesh). Terutama yang P dan B ini yang paling keras dalam isu-isu keagamaan di kampus. Padahal prinsip kita waktu itu, “kita ini udah umat minoritas, gak perlu lah macem-macem”. Pak Martin ini yang selalu paling depan ngedem-ngedem suasana. Plus salah satu yang akan pasang badan kalau kita “bermasalah” dengan pihak kampus.

Pindah ke Spanyol…mungkin ini turning point nya… Saya berteman dan bertemu dengan banyak teman Muslim Spanyol dengan akhlakul kariimah di luar nalar saya…Seorang teman yang harus menembus 80 km setiap hari (160 km PP) “hanya” untuk bisa tarawih di mesjid karena di proximity areanya nya tidak ada mesjid sama sekali.

Saya juga terbiasa ikut dzikir seminggu sekali mengukir dan menembus tengah malam. Teman-teman saya banyak yang bahkan tidak bisa mengeja huruf hijaiyah..mereka membaca buku dzikir dan quran dari versi latin dan terjemahan bahasa Spanyolnya. No problem. Dzikir dari ba’da isa…sampai jam 2-3 pagi!

Beberapa anak muda yang ketika saya sudah hafal Yasin 25 tahun lalu, mereka belum lahir, atau malah keluarganya belum memeluk Islam, sekarang tidak hanya Islam tapi juga menghafal Qur’an, beberapa full 30 juz. Mereka rela meninggalkan sekolah formal pergi pesantren di Mallorca atau Maroko….

Lagi-lagi….Agama diperjuangkan.

Kalau Idul Adha datang….Mereka harus memasang strategi bagaimana agar bisa menjalankan Qurban—karena slaughtering tidak diperkenankan di mayoritas negara Eropa kecuali di RPH. Biasanya kita pergi jauuuh beberapa puluh km di luar kota, di tempat yang sangat isolated.
“Kalau nggak gini, anak-anak kita hanya tahu kisah Nabi Ismail dari buku”…

Saya pernah ikut mereka, bagaimana gudang tua dirombak menjadi tempat pemotongan qurban, dan kembali harus bersih-gasik sesudahnya tanpa bau dan titik darah. Resiko-nya? Kalau ketahuan mereka bisa ditangkap polisi.

Jelas agama harus diperjuangkan.

Saya berkesimpulan, partly mungkin benar bahwa agama adalah warisan, tapi more and more…agama adalah harta yang harus diperjuangkan. Alhamdulillah, saya tidak hanya bisa merefleksikan bagaimana Rasulullah memperjuangkan agar paman yang dicintainya dan banyak berjasa dalam perjuangannya memeluk agamanya, atau Nabi Nuh dengan anaknya, Nabi Luth dengan anak dan istrinya, atau Nabi Ibrahim dengan ayahnya…

Saya benar-benar melihat dengan kasat mata…

Mungkin yang membedakan dengan di Indonesia, selama kurang lebih 1095 hari tinggal di Spanyol menyaksikan syahadat berkumandang hampir setiap ba’da Jumat menandai lahirnya mualaf-mualaf baru, tidak pernah sekalipun saya mendengar satu di antara mereka berbicara negatif tentang agama yang dipeluk sebelumnya…

Nah itulah letak di mana pondansi toleransi dibangun.

Mungkin kata kuncinya; regardless ascribed atau achieved status; entah warisan atau “sebuah hasil perjuangan” keberagamaan kita seharusnya dilihat sebagai input dan bukan sebagai output. Ketaatan, kekhusyu’an itu biar milik kita dengan Sang Pencipta sementara outputnya masih panjang. Kalau kita sebagai Muslim tentu bagaimana agar akhlaqul Karimah yang kita bangun memberikan banyak kemaslahatan kepada sesama…

Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alad dinika wa ‘ala tho’atika…

Selamat menyambut datangnya bulan Ramadan..

Advertisement

8 thoughts on “Jalan Waris dan Perjuangan

  1. Halo mba.. salam kenal. Ih, tos dl.. aku jg lahir dilingkungan yg homogen bgt. Rumah di gang pesantren, dan almost 24hrs juga dgr pengajian, tadarus, sholawatan..smw nya pake speaker toa! Haha. Tapi dari kecil saya dimasukin ke sekolah negeri, gk ke sekolah agama. Jd ngerasanya alhamdulillah ngaji mah dikit2 bisa, tp jg pikiran lumayan terbuka krn biasa bergaul dg berbagai macam suku, ras, agama berkat sekolah umum. Thanks for sharing mbak 🙂

    Like

  2. Pingback: Jalan Waris dan Perjuangan – Pemulung Hikmah

  3. Kebutalan saya non muslim jadi tau banget rasanya jadi minoritas. Tapi sahabat-sahabat saya justru kebanyakan muslim bukan yang sesama Hindu. Selamat menyambut Ramadan ya mbak

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s