Na’udzubillah, jangan sampai!
Siklus 5 tahunan yang “seharusnya” jatuh tahun lalu, ternyata bergeser menjadi tahun ini. Dengan situasi yang lebih buruk dari tahun 2007 😦
Sebelumnya, turut berduka cita untuk semua korban yang merasakan akibat dari banjir kali ini… Tidak hanya korban harta, tapi juga korban jiwa….
Saya tahu persis bagaimana rasanya banjir, Baik yang “cuma” semata kaki, ataupun sepinggang, semua sama capeknya. Tetap harus mengevakuasi barang (karena kita gak pernah tahu, sampai sebatas mana banjir akan menimpa rumah kita), dan yang utama… tetap harus bersih-bersih.
Banjir 2002
Waktu itu saya masih duduk di kelas 3 SMA. Tiba-tiba saja, “bum!”, tanggul di sungai samping rumah jebol. Air meluap, dahsyat, cukup berdiri di depan rumah dan diam, niscaya anda akan terdorong hingga 20 meter ke depan karena dahsyatnya arus air.
Situasi saat itu, tentu saja harus gerak cepat. Ibu-ibu dan anak-anak diungsikan terlebih dahulu, sementara bapak-bapak bertahan untuk mengevakuasi barang ke tempat yang lebih tinggi, sebelum akhirnya mengungsi. Kondisi terakhir, air di depan rumah saya mencapai setinggi dada orang dewasa (sementara dalam rumah sekitar sepinggang).
Akhirnya, sekitar seminggu saya mengungsi. Beberapa hari di rumah saudara, dan sisanya di kantor Ayah saya, karena lebih dekat ke sekolah (yes, murid teladan, walaupun rumah kebanjiran tetap sekolah hehehe).
Ada cerita mengharukan waktu banjir ini terjadi. Saat itu, di rumah kami ada satu ekor kucing dan satu ekor kelinci. Kedua makhluk ini tidak pernah bertegur sapa, bahkan cenderung saling ingin menyerang. Ayah saya yang sudah terlanjur mengungsi, kelupaan untuk menyelamatkan mereka. Kami sekeluarga merasa bersalah dan sangat khawatir. Ketika air sudah surut, apa yang terjadi? Kami menemukan mereka sedang berpelukan! Di atas tumpukan kardus di teras halaman… :’)
Banjir 2007
Terjadi setelah setahun saya menjadi istri bapak Ibrahim hehe. Kali ini, sungai sudah ditanggul oleh pemda, tapi ternyata air masih bisa meluap keluar. Oya, banjir yang kami alami ini biasanya kiriman dari bogor. Jadi, kalau ada berita di TV tentang pintu air katulampa, atau ciliwung, dll, gak ada pengaruhnya, karena sumber air bukan berasal dari sana.
Cerita di balik banjir ini? Banyaaakkk… Salah satunya:
Ibra: Mah *manggil ke ibu saya*, ayo lah kita ngungsi ke rumah puri aja (kebetulan, alhamdulillah, walaupun kecil, suami sudah punya rumah sebelum nikah sama saya) *ceritanya menantu pingin action sedikit, wkwkwk*
Mamah: Ayo lah, kita liat kesana.
Setiap weekend, saya dan suami memang biasa nginep di rumah ortu, dalam rangka males masak hihi. Dan saat itulah banjir terjadi.
Singkat cerita, begitu diliat kesana…. Ternyata…….. rumah kami lebih parah kebanjirannya huahahahahaha T_T. Dan karena rumah dalam keadaan kosong ketika banjir terjadi, bertumpahan lah itu segala isinya tanpa bisa diselamatkan… Kulkas jumpalitan, baju-baju dan buku-buku hancur minaaaaannnggg… *langsung meng-hire tenaga outsourcing untuk bersih-bersih T_T*
Nah, banjir pun selesai. Tapi setahun kemudian, tahun 2008, ternyata rumah kami kebanjiran lagiiiii (sementara rumah ortu adem ayem sentausa). Saat itu posisi saya dan suami sedang di kantor. Saya panik, karena teringat laptop yang masih tergeletak di atas karpet.. Pikir saya, wassalam sudah… Suami pun pulang ke rumah secara heroik naik ojek dari tanah abang. Bayar berapa ya? Lupa. Begitu sampai rumah, ternyata si laptop nangkring di atas sofa, sementara sofa mengambang kesana kemari. Alhamdulillah selamat… Hikmahnya setelah bersih-bersih? Kami menemukan IELTS certificate milik suami yang sempat diyakini hilang dan akhirnya membawa kami kesini, ke Swedia 🙂
Setelah tahun 2007 itu, alhamdulillah rumah ortu gak pernah kebanjiran lagi… Sementara rumah kami (rumah puri), yang sekarang sudah ditempati oleh orang yang lebih baik dari kami, sempet kebanjiran kecil 2 atau 3 kali. Untuk tahun 2013 ini, rumah puri pun gak kena efek banjir. Semoga seterusnya, aamiiiin!
Nah, kalau baca komentar orang-orang yang nyalahin gubernur sebelumnya, saya suka gemes sendiri… It’s not only about bureaucracy or political-willingness,, but also about your environmental awareness!!!!
Mau dibuat waduk segede Danau Toba, kalau isinya sampah semua ya sama aja bohong.. Atau kanal raksasa tapi isinya mampet terus ya gimana mau jalan?
Saya gak berani bicara teknis, tapi kadang pingin ikutan nimbrung juga… Menurut saya pribadi, dengan segala keterbatasan ilmu, ada beberapa alternatif yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk menanggulangi banjir.
- Perbaikan birokrasi, tentu saja. Jangan lah proyek-proyek Dinas dan Kementerian PU itu tega dikorupsi… Ini sudah menyangkut nyawa orang…
. - Perbaikan administrasi. Memindahkan ibukota? Menurut saya sangat sulit. Jakarta sudah “terlanjur” dilabeli dengan segudang aktivitas. Sementara memilih ibukota baru? Tantangan yang berat…. Apalagi secara politik kedaerahan. Dijamin semua daerah berlomba-lomba pingin jadi ibukota yang baru. Kendala nya? Studi kelayakan gak habis-habis…
Menurut saya, akan lebih “mudah” kalau orang yang gak punya KTP Jakarta, yang biasanya tinggal di permukiman kumuh bantaran kali, dipindahkan saja. Ada beberapa opsi, termasuk opsinya pak Ahok yang sangat saya hargai, yaitu memindahkan mereka ke Rusun (yang selama ini kosong), dengan insentif KTP DKI dll. Opsi selanjutnya, transmigrasi. Berat, belum tentu orang mau. Karena itu, opsi ini harus dilakukan secara terpadu antara pemerintah pusat dan daerah. Berikanlah infrastruktur yang memadai sebagai modal awal… Seharusnya, pemerintah daerah pun dengan senang hati menerima transmigran, karena kalau berhasil, toh mereka juga akan menambah pendapatan perkapita di daerah tersebut bukan? Lakukan pendekatan terpadu, tidak hanya untuk urusan ekonomi tapi juga sosial, untuk mencegah perselisihan dengan penghuni asli. Berat? Susah? Pastinya… Tapi kok menurut saya masih lebih mungkin ketimbang opsi memindahkan ibukota (yang harus dilakukan secara super hati-hati dan tidak bisa cepat). Opsi terakhir? Pulangkan ke daerah asal.
. - Memperbaiki dan membangun infrastruktur pencegah/peminimalisir banjir (karena secara historis, sejak zaman Belanda, Jakarta memang sudah ditakdirkan kena banjir…)
. - Last but not least, berkaca pada diri sendiri. Sayangilah lingkungan! Memang Indonesia ini masih jauh dari sistem pengolahan sampah yang terpadu… Tapi setidaknya, janganlah buang sampah sembarangan, apalagi ke kali atau ke selokan. Lebih baik lagi kalau kita mau memilah-milah sedikit sampah di rumah. Paling tidak sampah kertas/kardus. Kasihkan atau jual ke tukang loak. Beberapa temen di ITB saya tahu, sudah mulai menerapkan sistem tabungan sampah. Bisa di googling mungkin, Pundi Sampah di Bandung. Sayangnya, di Jakarta saya belum denger ada aktivitas seperti ini.
Yah, saya tahu, memang sangat mudah untuk sekedar “ngomong doang”. Tapi siapa tahu, dari tulisan saya ini, ada manfaatnya.. Paling tidak, buat diri saya sendiri. Jangan sampai, meskipun hidup di negeri orang, jadi warga negara yang apatis alias cuek terhadap kondisi yang sedang menimpa bangsanya….